Selasa, 27 Januari 2015

SEJARAH PERANG KARTAGO



PERANG KARTAGO ( PERANG PUNISIA )
( 264 – 146 SM )
A. Latar Belakang
Pada tahun 264 SM, Kartago adalah kota pelabuhan besar yang terletak di pantai Tunisia. Didirikan oleh bangsa Fenisia atau Phunikia yang merupakan bangsa peaut dan pedagang pada pertengahan abad ke -9 SM dibawa pemerintahan Raja Pygmalion.[1] Kartago merupakan negara kota yang kuat. Nama asli kota ini adalah Kiryath Hadesyath yang berarti perkampungan baru.
Pemerintahan Kartago yang terletak di Afrika utara yang memiliki kekuatan luar terbesar di Mediterania abad ke -5 SM. Bangsa punisia yang menghuni kota Kartago mendirikan pemerintahan independen dan mereka memiliki kekuasaan hampir di seluruh wilayah Afrika utara. Rakyat negara ini mengontrol hampir semua perdagangan internasional di Mediterania dan hidup yang makmur.
Munculnya perang kartago atau yang sering disebut juga dengan perang Punic ini masih berkaitan erat dengan perjalanan panjang yang dilakukan oleh Aeneas, pahlawan dalam perang Troya yang kemudian menikai Ratu Dido dari Kartago. Namun kemudian Aeneas kemudian melanjutkan perjalanan kembali menyusuri sungai Tiber dan menikahi Rhea Silva yang kemudian melahirkan bangsa keturunan baru, bangsa Roma. Dalam perkambangannnya kedua bangsa ini tidak pernah dapat hidup dengan damai, terutama disebabkan oleh sengketa perebutan wilayah pelayaran yang kemudian memicu terjadinya perang Kartago. [2]Pemerintahan Kartago menguasai hamper separoh Sisilia (gudang gandum) di timur tengah terutama bagian barat. Begitu mereka merebut polis-polis Yunani di Sisilia timur. Orang Sisilia yang dipimpin oleh raja Syracuse meminta bantuan kepada Roma dan pecahlah perang antara Roma melawan Kartago.[3]


B. Motif dan Tujuan
Motif perang ini adalah motif politik dan ekonomi, dimana adanya keinginan Kartago maupun Romawi untuk memperluas pengaruh dan wilayahnya di polis-polis Yunani terutama setelah polis-polis Yunani di Italia selatan masuk ke dalam supremasi Roma dan taruhan dari pertempuran ini adalah Sisilia yang merupakan gudang gandum.
Tujuan perang ini adalah keinginan Kartago untuk menguasai polis-polis yunani di Sisilia timur yang merupakan daerah yang dilindungi Romawi. Keinginan kedua belah pihak untuk memperluas imperium kekuasaannya, ditambah lagi Sisilia merupakan daerah pemasok gandum terbesar di timur tengah, bangsa Kartago juga ingin menguasai seluruh kawasan perdagangan di Mediterania bahkan kawasan jazirah Italia sekalipun dan menjadi negara maritim yang kuat dan memiliki pengaruh besar Eropa.
C. Narasi Perang
Bangsa Kartago yang menguasai separoh Sisilia bagian barat begitu mereka merebut polis-polis yunani dan sisilia timur yang dipimpin oleh raja Siracuse meminta bantuan ke romawi dan pecalah perang antara Romawi dan Kartago.
1.      Perang Punisia I (264 SM – 241 SM)
                        Perang Punic pertama meletus di  Messana yang dimenangkan oleh Romawi yang dipimpin oleh Duilius. Pertempuran bukan hanya terjadi di daratan namun juga perang laut dan kelemahan Kartago adalah pada perang di daratan, dimana Roma menempatkan tentaranya dibelakang garis pertempuran di wilayah Kartago di Afrika.[4] Golongan penguasa Kartago meminta perdamaian, dalam perdamaian ini ditetapkan bahwa Sisilia jatuh ke tangan Roma dan Kartago harus membayar rampasan perang 3200 talen dalam waktu 10 tahun. Karena kekalahannya kartago mengalami goncangan politik maupun militer sehingga kekaisaran Romawi dengan mudah merebut Sardinia dan Corsica yang didukung oleh permasalahan pembayaran gaji angkatan perang.
2.      Perang Punisia II (218 – 202 SM)
                        Orang-orang Kartago yang merasa malu sebagai akibat kekalahannya segera membangun kekuatanya di Spanyol, mereka menyiarkan suatu invansi jazirah italia. Pada masa inilah muncul nama panglima perang Kartago yang sangat terkenal, yaitu Hanibal.[5] Hanibal mengarahkan kekuatannya di selatan, perbatasan timur Pirenne melewati sebelah selatan Galia dan kemudian melewati pegunungan Alpen. Romawi tidak menyangka bahwa Kartago akan melewati rute yang berbahaya ini, walapun akhirnnya pasukan Kartago yang semula 40.000 pasukan menjadi 20.000 infantri, 600 kafaleri dan 38 gajah, karena itu Hanibal membentuk infantri baru dari sekutu mereka yaitu suku Galia. Pasukan Kartago terus menuju ke selatan pertempuran Cannea (216 SM) dimulai, pada awalnya pasukan Romawi menguasai jalanya pertempuran, Hanibal sengaja memasang perangkat dengan membiarkan orang-orang Romawi menyerang pasukan yang terlemah sehingga menyebabkan pasukan Romawi menumpuk di tengah, kemudiah Hanibal segera melepas ujung luar pasukannya yang terdiri dari gajah dan kuda Afrika menghimpit pasukan Romawi. Pertempuran Cannea tercatat sebagai sejarah kekalahannya Romawi yang paling menghancurkan dan memalukan. Dalam pertempuran awal Kartago berhasil memenangkan beberapa pertempuran diantaranya pertempuran Terbia, pertempuran Danau Trasimene dan pertempuran Cannae.[6]
                        Pada tahun 204 SM, Scipio mendaratkan tentaranya di Afrika dengan bantuan raja Numedia. Dalam pertempuran pertama di Afrika tentara Kartago dibawah pimpinan Syphax kalah dan kota Kartago terancam. Hanibal ditarik kembali ke Afrika untuk mempertahankan Kartago karena tindakan itu terlalu tergesa-gesa dan persiapan yang tidak matang sehingga pasukannya dihancurkan oleh Scipio dalam pertempuran Zama. Kartago tunduk dan menerima syarat-syarat perjanjian pada tahun 201 SM yang terdiri dari:
a.       Spanyol diserahkan kepada imperium romawi
b.      Angkatan laut kartago menjadi milik romawi
c.       Kartago membayar pampasan perang
d.      Kartago mengakuai raja Masinia sebagai raja Nurmedia di daerah pedalaman Tunisia[7]

Setelah kemenengan Romawi melawan kartago, jenderal romawi Scipio dijuluki sebagai Africanus dan Kartago menjadi semacam satelit Roma. Panglima perang Kartago, Hanibal diasingkan ke Istana Seleucid. Dalam pengasingannya, ia diminta menjadi penasihat militer Antiochus III saat berperang melawan Romawi. Tapi ia kalah, lalu melarikan diri ke Istana Bithynian. Hannibal kemudian memilih bunuh diri daripada menyerah.[8]

3.      Perang Punisia III (149 SM – 146 SM)
                        Meskipun Kartago telah ditaklukkan, namun mereka tetap merupakan ancaman bagi roma. Roma khawatir Kartago dapat merebut kembali tanah-tanah jajahan mereka yang telah diserahkan ke Roma. Ditambah lagi para pedagang roma selalu ingin mengalahkan pedagang Kartago. Cato seorang senator Romawi yang suka berperang mengobarkan semangat romawi untuk melakukan perang Punisia yang ke-III, Cato mengakhiri pidatonya dengan kata-kata yang berapi-rapi “delenda est carthago” (kartago harus dihancurkan).
                        Kartago kemudian di hancurkan dan bangunan-bangunan dibakar habis sehingga rata dengan tanah, dan daerah-daerah kekuasaanya yang masih ada diklaim menjadi kekuasaanya Romawi.

D. Taktik dan Strategi Perang
Dalam usahanya mencapai Italia Utara, pasukan Kartago yang dipimpin olh  Hanibal membentuk pasukan infanteri dengan merekrut orang-orang sekutunya, yaitu suku Galia. Dengan terus melaju ke selatan, hanibal mengalahkan orang-orang Romawi yang berada di Canae (216 SM). Dalam peperangan itu, Hanibal memakai taktik Penjepit Raksasa yaitu dengan meletakkan pasukan terlemah di depan sehingga membentuk seperti lengkungan yang dapat menjebak dan menghancurkan pasukan Romawi.[9]

Sedangkan Romawi mencoba taktik gerilya dan menghindari pertempuran-pertempuran besar. Segala tanaman dan hasil bumi yang menguntungkan musuh dimusnahkan, dan memblokade jalan-jalan yang biasa dilewati pasukan kartago. Romawi mengerahkan pasukan gerak cepatnya dimana saja yang siap menyerang dengan mendadak. Dengan tujuan untuk melemahkan pasukan Hanibal. Akan tetapi strategi yang diterapkan oleh Fabius ini ditentang oleh penduduk Romawi karena mereka mengangap taktik ini memalukan reputasi romawi sebagai bangsa yang kuat saat ini.

E. Teknologi Perang
Kartago memiliki angkatan laut yang besar yang melayari seluruh daerah laut tengah sebelah barat. Kartago menggunakan gajah dan kuda untuk memperkuat pasukannya. Kartago juga mempunyai pasukan infanteri dan kafaleri.
 Angkatan perang Roma disebut dengan “Phalanx” yang terdiri dari 8.000 infanteri, Phalanx dibagi menjadi beregu-regu yang masing-masing beranggotakan 100 orang yang disebut “century” hanya beberapa dari centuries dilengkapi dengan baju baja dan pedang, selebihnya dilengkapi dengan persenjataan yang lebih kecil dan ringan yang berada di pasukan belakang. Selanjutnya teknologi perang Romawi mulai berkembang “legion” yang terdiri dari 3.600 prajurit mengantikan Phalanx yang anggotanya lebih besar. Legion ini dibagi menjadi kelompok yang masing-masing terdiri dari 60 -120 prajurit yang disebut “Maniple’ dan dilengkapi baju baja, pedang, helm, perisai, tombak, lembing dan lembing besi yang bisa dilemparkan pada jarak tempuh

Daftar Pustaka
Dj.Q. Nasution. 1981. Sedjarah Romawi, Bandung. Balai Pendidikan Guru
Http://www. wordpress.com/Perang_Kartago diakses tanggal 23 Maret 2010
Http://www.wikipedia.org.id/Perang_Phunic diakses tanggal 23 Maret 2010
Soewandhi. 1950. Sedjarah Perang. Yogyakarta. Kementrian Penerangan Republik Indonesia.
Sou’yb, Joesoef. 1977. Sejarah Daulat Umayyah I, di Damaskus. Jakarta : Bulan Bintang
Sumobroto, Sugihardjo. 1999, Sejarah Peradapan Barat Klasik Dari Prasejarah Hingga Runtuhnya Romawi. Yogyakarta : Liberti


[1] Joesoef Sou’yb, 1977 hal. 32
[2] Ibid. hal. 33
[3] Sugihardjo, Sumobroto. 1989, hal. 100
[4] Dj.Q. Nasution, 1981,  hal. 10
[5] Joesoef  Sou’yb, 1977 hal. 32

[6] http://www.wikipedia.org.id/perang_phunic diakses tanggal 23 Maret 2010

[7] Dj.Q. Nasution, 1981,  hal. 12

[8] http://www. wordpress.com/perang-kartago diakses tanggal 23 Maret 2010

[9] Sugihardjo, Sumobroto. 1989, hal. 102

Tidak ada komentar:

Posting Komentar