Selasa, 27 Januari 2015

Dekrit Presiden 5 Juli 1959

1       Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah dekrit yang dikeluarkan oleh Presiden Indonesia yang pertama, Soekarno pada 5 Juli 1959. Isi dekrit ini adalah pembubaran Badan Konstituante hasil Pemilu 1955 dan penggantian undang-undang dasar dari UUD Sementara 1950 ke UUD '45. Era 1950-1959 ialah era dimana presiden Soekarno memerintah menggunakan konstitusi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950, sange dimana periode ini berlangsung dari 17 Agustus 1950 sampai 6 Juli 1959.
·         Latar Belakang
Dekrit Presiden 1959 dilatarbelakangi oleh kegagalan Badan Konstituante untuk menetapkan UUD baru sebagai pengganti UUDS 1950. Anggota konstituante mulai bersidang pada 10 November 1956. Namun pada kenyataannya sampai tahun 1958 belum berhasil merumuskan UUD yang diharapkan. Sementara, di kalangan masyarakat pendapat-pendapat untuk kembali kepada UUD '45 semakin kuat. Dalam menanggapi hal itu, Presiden Soekarno lantas menyampaikan amanat di depan sidang Konstituante pada 22 April 1959 yang isinya menganjurkan untuk kembali ke UUD '45. Pada 30 Mei 1959 Konstituante melaksanakan pemungutan suara. Hasilnya 269 suara menyetujui UUD 1945 dan 199 suara tidak setuju. Meskipun yang menyatakan setuju lebih banyak tetapi pemungutan suara ini harus diulang, karena jumlah suara tidak memenuhi kuorum. Kuorum adalah jumlah minimum anggota yg harus hadir dl rapat, majelis, dan sebagainya (biasanya lebih dari separuh jumlah anggota) agar dapat mengesahkan suatu putusan. Pemungutan suara kembali dilakukan pada tanggal 1 dan 2 Juni 1959. Dari pemungutan suara ini Konstituante juga gagal mencapai kuorum. Untuk meredam kemacetan, Konstituante memutuskan reses (masa perhentian sidang [parlemen]; masa istirahat dr kegiatan bersidang) yang ternyata merupkan akhir dari upaya penyusunan UUD.
Sebelum Republik Indonesia Serikat dinyatakan bubar, pada saat itu terjadi demo besar-besaran menuntut pembuatan suatu Negara Kesatuan. Maka melalui perjanjian antara tiga negara bagian, Negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, dan Negara Sumatera Timur dihasilkan perjanjian pembentukan Negara Kesatuan pada tanggal  17 Agustus 1950.
Sejak 17 Agustus 1950, Negara Indonesia diperintah dengan menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950 yang menganut sistem kabinet parlementer.

·         Pengeluaran Dekrit Presiden 1959
Pada 5 Juli 1959 pukul 17.00, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang diumumkan dalam upacara resmi di Istana Merdeka.
Isi dari Dekrit tersebut antara lain :
  1. Pembubaran Konstituante
  2. Pemberlakuan kembali UUD '45 dan tidak berlakunya UUDS 1950
  3. Pembentukan MPRS dan DPAS dalam waktu yang sesingkat-singkatn


2       PEMERINTAHAN REVOLUSIONER REPOBLIK INDONESIA (PRRI )
Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia biasa disingkat dengan PRRI merupakan sebuah gerakan koreksi dari daerah akibat ketimpangan pembangunan antara pusat jakarta dengan daerah-daerah lain, dan semakin kuatnya cengkraman PKI terhadap kekuasaan melalui Presiden Soekarno. Gerakan koreksi ini mencapai puncaknya tanggal 15 februari 1958 dengan keluarnya ultimatum dari n di PadaDewan Perjuangang, Sumatra Barat.
Semua tokoh PRRI adalah para pejuang kemerdekaan, pendiri dan pembela NKRI. Sebagaimana ditegaskan Ahmad Husein dalam rapat Penguasa Militer di Istana Negara April 1957; Landasan perjuangan daerah tetap Republik Proklamasi dan berkewajiban untuk menyelamatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta.
Namun, gerakan koreksi atau gerakan penyelamatan negara yang tumbuh di daerah-daerah itu dipukul habis Pusat (Jakarta) dengan mengerahkan pasukan darat, laut dan udara ke Sumatra Tengah dan Sulawesi Utara, sebuah pengerahan pasukan militer terbesar yang pernah tercatat di Indonesia.
Pemberontakan PRRI/Permesta didahului dengan pembentukan dewan-dewan di beberapa daerah di Sumatera, antara lain Dewan Banteng di Sumatera Barat oleh Letnan Kolonel Achmad Husein (20 Desember 1956) ; Dewan Gajah di Medan oleh Kolonel Maludin Simbolon (22 Desember 1956) dan Dewan Manguni di Manado oleh Letnan Kolonel Ventje Sumuai (18 Februari 1957). Tanggal 10 1958 didirikan organisasi yang bernama Gerakan Perjuangan Menyelamatkan Negara Republik Indonesia yang diketuai oleh Letnan Kolonel Achamad Husein. Gerakan Husein ini akhirnya mendirikan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) yang berkedudukan di Bukittinggi dengan Syafruddin Prawiranegara sebagai pejabat presiden. Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta) pada hari berikutnya mendukung dan bergabung dengan PRRI sehingga gerakan bersama itu disebut PRRI/Permesta. Permesta yang berpusat di Manado tokohnya adalah Letnan Kolonel Vantje Sumual, Mayor Gerungan, Mayor Runturambi, Letnan Kolonel D.J. Samba, dan Letnan Kolonel Saleh Lahade.
Untuk menumpas pemberontakan PRRI/Permesta dilaksanakan operasi gabungan yang terdiri atas unsur-unsur darat, laut, udara, dan kepolisian. Serangkaian operasi yang dilakukan adalah sebagai berikut :
  1. Operasi Tegas dengan sasaran Riau dipimpin oleh Letkol Kaharudin Nasution. Tujuan mengamankan instansi dan berhasil menguasai kota. Pekanbaru pada tanggal 12 Maret 1958.
  2. Operasi 17 Agustus dengan sasaran Sumatera Barat dipimpin oleh Kolonel Ahmad Yani berhasil menguasai kota Padang pada tanggal 17 April 1958 dan menguasai Bukittinggi 21 Mei 1958.
  3. Operasi Saptamarga dengan sasaran Sumatera Utara dipimpin oleh Brigjen Jatikusumo.
  4. Operasi Sadar dengan sasaran Sumatera Selatan dipimpin oleh Letkol Dr. Ibnu Sutowo.
  5. Sedangkan untuk menumpas pemberontakan Permesta dilancarkan operasi gabungan dengan nama Merdeka di bawah pimpinan Letkol Rukminto Hendraningrat, yang terdiri dari :
  • Operasi Saptamarga I dengan sasaran Sulawesi Utara bagian Tengah, dipimpin oleh Letkol Sumarsono.
  • Operasi Saptamarga II dengan sasaran Sulawesi Utara bagian Selatan, dipimpin oleh Letkol Agus Prasmono.
  • Operasi Saptamarga III dengan sasaran Kepulauan Sebelah Utara Manado, dipimpin oleh Letkol Magenda.
  • Operasi Saptamarga IV dengan sasaran Sulawesi Utara, dipimpin oleh Letkol Rukminto Hendraningrat



Konsepsi Presiden 21 Februari 1957 adalah kritik pedas sekaligus
 ultimatum Soekarno terhadap demokrasi Liberal. Pertama Soekarno
 mendesak pembentukan suatu kabinet berkaki empat (Masyumi, PNI, NU,
 dan PKI). Kedua dibentuknya DPR-GR yang terdiri dari perwakilan partai
 NasAKom dan golongan fungsional yang dirasa belum diwakili oleh
 partai, termasuk di dalamnya militer.
Pada waktu sistem perlementer dihapuskan, penolakan itu muncul dari
Bung Hatta sebagai wakil Presiden dan M. Natsir dari Masyumi..
Sistem Parlementer inilah yang menjadi sumber asli pemikiran Bung
Hatta sbg fungsi demokrasi asli masyrakat Indonesia (yang kalau di
trace berasal dari sosialisme yang tercipta di ‘nagari’ dari Alam
Minangkabau’.
Ini yang membuat Bung Hatta sedih sekali dan kemudian mengganggap
Sukarno dengan Demokrasi Terpimpinya sebagai sebuah Otoriter
Kediktatoran.
 Ide kabinet berkaki empatlah yang membuat Dwitunggal menjadi
 Dwitanggal. Soekarno menganggap kaum komunis mempunyai saham juga
 dalam sejarah Indonesia, oleh sebab itu tidak ada salahnya diberi
 kekuasaan agar ikut bertanggung jawab atas situasi yang ada. Sedangkan
 Hatta yang telah berpengalaman dengan pengkhianatan komunis baik pada
 masa pergerakan nasional (tikaman oleh Abdul Majid dan Maruto di PI)
 maupun masa revolusi fisik peristiwa Madiun 1948. Hatta menganggap
 bahwa sekali saja PKI diberi kekuasaan, maka PKI akan berusaha
 memonopoli kekuasaan tersebut yang mengakibatkan demokrasi akan mati
 di Indonesia. Pandangan Hatta ini diamini oleh Masyumi dan PSI untuk
 mendukung para Warlords luar Jawa untuk melancarkan PRRI dan Permesta.
Ada alasan lain , yaitu ajaran Bung Hatta yang mengatakan bahwa
Komunis itu bukan sesuatu yang bisa diterapkan di Indonesia karena
komunis merupakan paham “foreign-dominated” , artinya hanya memaksakan
apa yang terjadi di Russia jaman Bolshevik kepada Indonesia.
Sikap Bung Hatta terhadap ketidaknyamananya dengan komunis bisa
ditraceback sejak 1930 dimana ia tidak setuju dengan keputusan
Stalin/Komintern thd pandanganya ttg komunisme di asia , yang mana
Hatta kemudian dikeluarkan dari perhimpoenan Indonesia seperti
keterangan diatas –dimana Abdul Madjid adalah salah satu pelakunya–.
Selanjutnya, pada 1960an pun Bung Hatta menganggap Nasakom-nya bung
karno itu mengada-ada.
 Kabinet Ali II pin meletakkan jabatan sampai pada akhirnya presiden
 menunjuk dirinya sendiri sebagai formatur kabinet lalu mengangkat
 Djuanda sebagai PM yang membuat partai-partai kehilangan muka.
 Dengan sekejap arus tenang (setruman listrik DC) demokrasi berubah menjadi bergejolak (setruman listrik AC) yang berhujung pada sebuah
kediktatoran. Hal ini disebabkan pertama karena tentara sebagai
pertahanan dan keamanan (resistor penghambat arus) mengalami
 perpecahan Intern. Kedua karena Dwitunggal (Kondensor) telah menjadi
Dwitanggal yang mengakibatkan Indonesia (sebuah rangkaian listrik)
 terbakar (konsleting).
 Terjadilah dikotomi antara pusat dengan daerah dan antar Jawa yang
 komunis dengan Luar jawa yang anti komunis.
Ingat juga NU banyak berbasis di Jawa, waktu itu NU partai terpisah
dengan Masyumi yg lebih banyak berbasis di Sumatra.
Sebaliknya Hatta yang mengecam
 Soekarno juga mengecam para pemberontak. Kabinet Djuanda yang naik
 atas restu Presiden pun akhinya meletakkan jabatan mengembalikan
 mandatnya. Sidang konstituante berhasil merumuskan pasal-pasal tentang
 HAM namun tidak mengenai dasar Negara Soekarno dengan dukungan
 militer, PKI den beberapa partai pragmatis akhirnya mendengungkan
 Dekrit pada 5 Juli 1959 untuk kembali ke UUD 1945 dan pembubaran
 konstituante.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar