Kamis, 29 Januari 2015

SOAL SEJARAH










1.      Istilah sejarah berasal dari bahasa Arab, yaitu syajaratun yang artinya ….
A. Tumbuhan
B.   Bunga
C.   Pohon
D.  Rantai
E.   Tanaman

2.      Jika dilihat dari asal katanya, istilah yang paling tepat untuk menyebut zaman kehidupan manusia sebelum mengenal tulisan yaitu ....
A.    Sejarah
B.     Prasejarah
C.     Praaksara
D.    Bersejarah
E.     Quartier

3.      Jaman di mana di dunia dihuni oleh hewan-hewan raksasa dari jenis reptil, sehingga masa itu dikenal sebagai jaman reptil, terjadi pada jaman ....
A. Arkhaekum
B.  Neozoikum
C.  Mesozoikum
D. Palaeozoikum
E.  Palaeolthikum

4.   Manusia muncul pertama kali pada jaman Neozoikum, yaitu pada masa ….
A. Primer
B.  Tertier
C.  Nirleka
D.  Sekunder
E.   Kuarter

5.   Manusia pra sejarah sudah hidup menetap didukung oleh kemampuan untuk ….
A. Menjinakkan binatang buas yang ditangkap
B.  Membuat rumah bertiang tinggi
C.   Bercocok tanam di sekitar tempat tinggal
D.  Berburu dan meramu
E.  Mengupam alat-alat pertanian

6.      Manusia besar (raksasa) dari Jawa Kuno (tertua) disebut dengan istilah ….
A. Pitecanthropus Mojokertensis
B.  Homo Wajakensis
C.  Homo Soloensis
D. Pithecanthropus Erectus
E.  Meganthropus Palaeojavanicus

7.      Manusia purba hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, disebabkan oleh…..
A. Faktor makanan karena tergantung pada alam
B.  Keadaan alam yang tidak stabil
C.  Manusia purba mencari daerah yang subur
D. Sering terjadi bencana alam
E.   Sering terjadi peperangan antar kelompok

8.       Kebudayaan mesolithikum di Indonesia mendapat pengaruh dari Kebudayaan Bacson-Hoabinh ( kebudayaan mesolithikum Asia Tenggara daratan ). Hal ini tebukti dari adanya penemuan ….
A.    Pebble / Kapak genggam
B.     Kapak lonjong
C.     Batu penggiling
D.    Kapak bahu
E.     Kapak persegi

9.      Kepercayaan yang meyakini bahwa sangat menghormati terhadap arwah para leluhur, disebut ….
A.    Animisme
B.     Fethitisme
C.     Totemisme
D.     Dinamisme
E.     Polytheisme

10.  Contoh pengaruh Hindu di Indonesia dalam bidang pemerintahan adalah ....
A.    Masyarakat mulai mengenal kepercayaan
B.     Mulai dikenal sistem kerajaan
C.     Dikenal adanya sistem kasta
D.    Kekuasaan Raja bersifat mutlak
E.     Mulai dikenal api

11.  Pengaruh Hindu-Budha masuk ke Indonesia dibawa oleh para pedagang India yang singgah ke wilayah Indonesia. Pernyataan tersebut adalah inti dari pendapat ....
A.    Brahmana                         
B.     Waisya
C.     Ksatria                                
D.    Arus balik
E.     Sudra

12.  Pembentukan kasta dalam agama Hindu bertujuan untuk ....
A.    Agar jelas perbedaan antar kasta
B.     Agar murni tidak campur aduk antar kasta
C.     Agar ada perkawinan dalam satu kasta
D.     Untuk menjaga kemurnian ras bangsa Arya
E.     Untuk memudahkan kaya dan miskin

13.  Masuknya pengaruh Hindu dan Buddha ke Indonesia menyebabkan ....
A. keyakinan dan kepercayaan asli menjadi buyar
B.  keyakinan dan kepercayaan asli tetap kokoh berdiri
C.   pengaruh Hindu dan Buddha lebih dominan
D. pengaruh Hindu dan Buddha membaur menjadi satu dengan kepercayaan dan keyakinan yang telah ada sebelumnya
E.  hilangnya kepercayaan lama
14.  Pengaruh kebudayaan Hindu-Buddha dalam bidang politik adalah . . . .
A. Pergantian pimpinan masyarakat didasarkan atas keturunan
B.   pemimpin masyarakat dipilih berdasarkan kastanya
C.  Hubungan penguasa dan rakyat adalah hubungan manusia dengan dewa
D. Gelar yang dipakai pemimpin adalah datuk
E.  Pemberian nama kedudukan  aparat pemerintahan di dasarkan  pada kasta

15.  Golongan masyarakat paling bawah yang terdiri dari orang-orang seperti pengemis dalam kasta Hindu disebut ....
A. Brahmana                         
B.  Ksatria
C.  Sudra                                  
D. Pariyai
E.  Putra mahkota

16.  Berikut yang bukan termasuk kerajaan di Indonesia yang bercorak Hindu-Buddha adalah…..
A.    Kerajaan Tarumanegara
B.     Kerajaan Singhasari
C.     Kerajaan Sriwijaya
D.    Kerajaan Perlak
E.     Majapahit

17.  Kerajaan Hindu yang pertama di Indonesia adaah . . . .
A.    Kutai                                   
B.     Sriwijaya
C.      Mataram                           
D.    Tarumanegara
E.     Kalingga

18.  Gambar bekas telapak kaki Raja Purnawarman yang dilambangkan sebagai Wisnu merupakan isi dari prasasti…..
A.    Muara Cianten                
B.     Pasar Awi
C.     Ciaruteun                          
D.    Kebon Kopi
E.     Jambu

19.  Pada sekitar abad ke-7 sampai abad ke-11, Kerajaan Sriwijaya menjadi pusat perdagangan di Nusantara. Hal ini disebabkan oleh . . . .
A.    Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan maritime
B.     Letak Kerajaan Sriwijaya di dekat Selat Malaka
C.     Kerajaan Sriwijaya memiliki pelaut-pelaut ulung
D.    Mata pencaharian utama masyarakatnya adalah perdagangan
E.     Pusat agama Buddha

20.  Salah satu faktor yang menyebabkan kerajaan Sriwijaya berkembang dalam bidang perdagangan adalah ....
A.    Banyak menghasilkan barang dagangan
B.      Belum ada kerajaan lain
C.      Letaknya strategis
D.    Memiliki raja yang kuat
E.     Kerajaan kuat



Soal Essay
1.    Jelaskan pembabakan praaksara berdasarkan geologi!
2.    Jelakan pembabakan praaksara berdasarkan arkeologi!
3.    Jelaskan teori-teori masuknya agama Hindu-Budha ke Indonesia !
4.    Jelaskan perbedaan kerajaan yang bercorak Hindu dan kerajaan yang bercorak Buddha di Indonesia !
5.    Jelaskan apa yang dimaksud dengan:
a.    Menhir
b.   Dolmen
c.    Pabble  Culture
d.   Bone Culture
e.    Kjoken Mondiger
f.    Abris Sous Rouche



GOOD LUCK!!!

ORGANISASI PEREMPUAN DAN PERJUANGAN NASIONAL AWAL ABAD KE-20



ORGANISASI PEREMPUAN DAN PERJUANGAN NASIONAL
AWAL ABAD KE-20
Abstrak: Keikutsertaan Perempuan dalam memikul beban dan memecahkan masalah yang dihadapi masyarakatnya telah terbukti dalam sejarah. Sejarah Indonesia kaya akan perjuangan kaum Perempuan. Sejak awal abad ke-20 kaum perempuan telah bangkit bergerak dan berorganisasi untuk ikut  berjuang memikirkan negaranya dari penin-dasan
Kata kunci: organisasi perempuan, perjuangan, awal abad ke-20
Organisasi perempuan yang muncul berdiri sebelum kemerdekaan memiliki beragam tujuan yang ingin dicapai. Organisasi perempuan yang berkembang sebelum tahun 1928 lebih menitik beratkan kepada perbaikan kedudukan sosial perempuan dalam perkawinan dan keluarga, serta meningkatkan kecakapannya sebagai seorang ibu rumah tangga dengan jalan meningkatkan pendidikan dan pengajaran yang disertai dengan peningkatan ketrampilan (Kowani, 1978:16). Dengan demikian organisasi-organisasi perempuan yang berdiri sebelum tahun 1928 masih berkutat pada masalah domestik yang dihadapi oleh perempuan.
Keadaan mulai berubah setelah tahun 1928, karena kesempatan belajar yang makin berkembang, tidak terbatas pada lapisan atas saja, melainkan juga berkembang ke golongan bawah. Dampak dari hal itu adalah dalam segi kuantitas semakin banyak perempuan yang men-dapat pendidikan, dan sadar untuk berorganisasi. Efeknya adalah meningkatnya jumlah organisasi perempuan, demikian juga cara perjuangan dan ruang lingkup yang semakin luas, tidak hanya mengurusi masalah domestik saja, tetapi juga ranah publik

Organisasi Perempuan Perintis
Jauh sebelum tokoh emansipasi Kartini berjuang, telah muncul usaha untuk memikirkan pendidikan untuk perempuan. Tetapi usaha awal ini berasal dari lingkung individu dan dari golongan bangsawan . Misalnya usaha dari keluarga Keraton Pakualam di Yogyakarta yang mendidik gadis-gadisnya untuk belajar di sekolah Belanda dengan tujuan agar mereka dapat bekerja di berbagai lapangan (Suryocondro, 1984:80).
Pendidikan yang dilakukan oleh golongan bangsawan ini tidak hanya masalah yang bersangkutan dengan ranah domestik, misalnya tentang pelajaran sopan santun, dan hal-hal kerumahtanggaan, melain-kan pendidikan sekolah yang lebih luas. Pendidikan golongan bangsa-wan mendapat perhatian yang utama karena dari golongan mereka diharapkan akan menjadi contoh untuk rakyat umumnya.
Tokoh lain adalah usaha Kartini yang berusaha memikirkan nasib perempuan yang terbelenggu oleh nilai tradisi yang menjadikan perempuan tidak dapat mandiri dan perlakuan sewenang-wenang. Kartini secara tepat menempatkan permasalahan penindasan perem-puan sebagai bagian dari permasalahan sistem budaya masyarakatnya. Dengan cerdas, sosok Kartini mengambil pendidikan sebagai titik strategis untuk mengeluarkan perempuan dari lingkungan budayanya, karena dengan pendidikan dapat mengubah  sistem nilai yang ada di masyarakatnya, selain menawarkan bagi perempuan emansipasi dan aktualisasi (Ridjal, 1993:95).
Unsur pokok dari gagasan Kartini antara lain adalah bahwa  tokoh ini melihat bahwa pendidikan untuk perempuan adalah salah satu syarat penting untuk memajukan perempuan, karena ibu yang terdidik diharapkan mampu mendidik keturunannya lebih baik. Bahwa kesempatan mencari nafkah sendiri dan mencari pekerjaan yang cocok bagi perempuan harus diberikan kepada perempuan dari kalangan miskin dan atas dan permaduan harus dihapuskan karena merendahkan martabat perempuan (Wieringa, 1998:6).
Usahanya yang nyata adalah membuka sekolah yang pertama untuk gadis-gadis pribumi di pekarangan rumahnya. Beberapa gagas-an dari cita-cita perempuan bangsawan yang dinamis dan dalam banyak hal berjiwa pemberontak ini, terutama cita-citanya tentang pendidikan untuk perempuan diikuti oleh tokoh-tokoh perempuan lain, terutama dari golongan bangsawan. Di Jawa Barat, pada tahun 1904, Dewi Sartika menjadi Kepala Sekolah perempuan Kautaman Istri, yang dalam waktu singkat sekolah yang dipimpinnya dapat membuka cabang di berbagai tempat di Jawa Barat, seperti Tasikmalaya (1913), Sumedang dan Cianjur (1916), Ciamis (1917), Cicurug (1918), Kuningan (1922), dan Sukabumi serta Batavia.
Di luar Jawa, sekolah untuk pribumi dibuka pula oleh para zending dan missi selain oleh individu, dan ternyata jumlah muridnya melebihi jumlah murid yang ada di Jawa. Pada tahun 1910 di Jawa dan Madura jumlah muridnya hanya 2010 orang, sedang di luar Jawa dan Madura tahun 1908 sudah mencapai 12.276 orang.
Semakin banyaknya perempuan yang mendapat pendidikan dan dampak yang menyertai akibat pendidikan tersebut menimbulkan masalah baru, karena tidak semua masyarakat dapat menerima perubahan-perubahan yang berlangsung itu. Perasaan tidak senang bila perempuan dapat mandiri dan mampu mengerjakan sesuatu tanpa bantuan orang lain, bahwa pendidikan yang diterima tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat pribumi Hindia Belanda karena menyimpang dari nilai-nilai ketimuran adalah bentuk-bentuk kekha-watiran yang muncul di masyarakat. Akibatnya adalah sikap pro dan kontra yang muncul dan diarahkan kepada perempuan pribumi terdidik (Muharam, 1996:138).
Tampak positif hasil pendidikan untuk perempuan menunjuk-kan arah yang positif, misalnya kepekaan mereka yang lebih besar akan masalah yang dihadapi perempuan  pada umumnya dan terutama adalah masalah yang dihadapi bangsa mereka yang masih terdiskri-minasi oleh bangsa lain (Doran, 1994:1). Kesadaran yang muncul dari fenomena di sekitar mereka memberi inspirasi kepada para terdidik bahwa cara kerja secara individual menghasilkan efek yang kurang memuaskan, dan untuk mendapatkan cita-cita bagi kemajuan perem-puan dan meninggikan derajat bangsanya mereka menganggap perlu-nya kerjasama yang lebih luas dan lebih besar dalam bentuk organisasi agar hasilnya lebih tampak.
Ide ini mendapat momentum yang tepat pada awal abad ke-20, dengan berdirinya Budi Utomo yang dalam sejarah pergerakan Indonesia dianggap sebagai pelopor kebangkitan bangsa Budi Utomo yang anggotanya terdiri dari golongan masyarakat priyayi dan intelek-tual Jawa mempunyai pandangan baru tentang perempuan, karena Budi Utomo beranggapan bahwa perubahan dan perbaikan adalah menyangkut laki-laki dan perempuan (Leiriza, et. al, 1989:126). Atas prakarsa Budi Utomo, pada tahun 1912 di Jakarta berdiri organisasi perempuan “Putri Mardika” yang bertujuan memberi bantuan, bim-bingan dan penerangan kepada perempuan pribumi dalam pendidikan, aktualisasi diri dan beasiswa.
Masa ini merupakan  era pemupukan kesadaran untuk berorga-nisasi dan usaha-usaha memajukan perempuan. Prakarsa membentuk organisasi pribumi timbul tidak hanya dari kalangan perempuan sendiri, tetapi juga dari organisasi massa, organisasi politik baik yang bersifat agama maupun sekuler serta organisasi pemuda, karena organisasi perempuan dianggap dapat menyalurkan cita-cita organi-sasi, ideologi partai bahkan ajaran agama (Muharam, 1996:161). Selain itu organisasi perempuan tidak menuntut persyaratan yang tinggi bagi anggotanya.
Berturut-turut setelah itu muncul organisasi perempuan lain, seperti “Pawiyatan Wanito” di Magelang (1995), PIKAT (Percintaan Ibu kepada Anak Temurun) di Manado (1917), “ Purborini” di Tegal (1917), “Wanito Susilo” di Pemalang (1918), “Wanito Hadi” di Jepara (1919), Putri Budi Sejati di Surabaya (1919), “Wanito Utomo’ dan”Wanita Mulya” di Yogyakarta (1920), sedang di Bukittinggi  adalah “Serikat Kaum Ibu Sumatera” (1920). Setelah tahun 1912, mulai banyak muncul organisasi perempuan yang bersifat keagamaan seperti “Sopo Tresno” (1914) yang merupakan embrio Aisyiah. “Sarikat Siti Fatimah” di Garut sebagai bagian dari Sarikat Islam, yang tahun 1925 menjadi Sarikat Putri Islam (Ohorella, 1992:7), menyusul “Aisyiah” (1917) yang merupakan seksi perempuan Muhammadiyah di Yogyakarta. Demikian juga organisasi-organisasi perempuan yang berlatar belakang agama Protestan dan Katholik berdiri tahun 1924. Di luar Pulau Jawa, muncul pula organisasi perempuan serupa seperti di Minangkabau, Maluku, dan Minahasa.
Masing-masing organisasi perempuan yang muncul memiliki persamaan kepentingan yang diperjuangkan oleh setiap organisasi, baik organisasi yang agamis maupun non agama, dan yang lokal  yaitu bagaimana seorang perempuan menjadi seorang Ibu dan istri yang baik, mendapat pendidikan kerumahtanggaan seperti ketram-pilan mengasuh anak dan menjahit. Jadi masalah yang diperjuangkan masih berkisar ranah domestik, peran esensial seorang wanita konstruksi budaya masyarakatnya ( Wieringa, 1999:55). Akan tetapi di samping persamaan, antara organisasi perempuan pun memiliki perbedaan masalah yang sangat sentral, di satu pihak antara organisasi perempuan Kristen dan “organisasi perempuan sekuler” dengan organisasi perempuan Islam di pihak lain, yaitu tentang poligini. Organisasi yang pertama memandang poligini sebagai penghinaan terhadap perempuan dan kegiatan ini harus dilawan, sementaara organisasi Islam hanya menginginkan perbaikan dalam poligini, bukan untuk menghapus ( Wieringa, 1998:10).
Sifat Pergerakan
Organisasi perempuan Indonesia pada awalnya masih bersifat kultural jika dilihat dari usaha-usaha mereka untuk memperjuangkan nilai-nilai di bidang pendidikan, kesusilaan, dan kemanusiaan serta usaha untuk meninggikan kedudukan perempuan di dalam keluarga dan masyarakat. Juga terdapat unsure nasional dalam arti cinta kepada kebudayaan sendiri menghadapi penetrasi Barat (Suryocondro, 1984:88).
Organisasi perempuan dengan selektif menerima budaya asing, misalnya pendidikan Barat, penghargaan yang lebih tinggi terhadap perempuan, pengorganisasian perkumpulan, tetapi kepada politik (dalam arti luas) belum dilakukan, kecuali tindakan yang pernah dilakukan oleh “Puti Mardika” tahun 1915 yang mengajukan mosi kepada Gubernur Jendral agar perempuan dan laki-laki memiliki posisi yang sama di dalam hukum.
Data yang mengungkap kegiatan organisasi perempuan selain rapat dan pertemuan serta kursus-kursus ketrampilan untuk perempuan tidak terlalu banyak didapat. Akan tetapi dapat diasumsikan bahwa dari pertemuan rutin itu kemudian terbentuk suatu konsensus selain memikirkan tentang anggota, mereka akhirnya juga berfikir untuk bangsa mereka, sehingga perkumpulan yang sifatnya lokal, akhirnya timbul kesadaran nasional karena terpengaruh oleh suasana luar.
Kulminasi kejadian terjadi tahun 1928 yang terinspirasi oleh Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Organisasi perempuan yang diantaranya bergelut di bidang domestik mulai membentuk suatu  persatuan berkesadaran nasional pada tanggal 22 Desember 1928 di Konggres Perempuan Indonesia, dengan tokohnya Nyi Hajar Dewantara, Ny. Sukanto dan Nn. Suyatin (Soewondo, 1968:132). Peristiwa yang disebut oleh Ki Hajar Dewantara sebagai tonggak sejarah Pergerakan Perempuan Indonesia (Kartowijono, 1982:6) itu berhasil mendirikan Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI) yang anggotanya terdiri dari 20 organisasi perempuan. Setelah era ini, sikap organisasi perempuan semakin tegas, berani dan terbuka dan perkembangan kearah politik semakin jelas.
Penyebaran Gagasan
Munculnya organisasi perempuan yang banyak tumbuh di awal abad ke-20 tidak dapat dipisahkan dari nilai gotong royong yang dimiliki oleh budaya Indonesia dan adanya komunikasi yang berupa pers, sehingga gagasan/ide organisasi perempuan mudah tersebar luas, selain itu pers dapat digunakan sebagai media praktis pengajaran dan pendidikan (Kowani, 1978:18).
Komunikasi tidak langsung melalui pers yang dimiliki oleh organisasi perempuan menjadikan masyarakat awam maupun anggota-anggota cabang dapat mengetahui dan membaca aktifitas dan gagasan–gagasan organisasi. Jenis penerbitan yang mereka miliki berupa majalah dan surat kabar yang terbit secara berkala sebagai sarana yang sudah dianggap selayaknya dimiliki oleh sebuah organisasi modern yang memiliki aturan tertulis yang sudah jelas, berupa AD/ART, hak dan kewajiban pengurus dan anggota, dsb.
Organisasi perempuan menyadari bahwa pers adalah sarana yang baik dan efektif untuk menyampaikan informasi/gagasan perkumpulan kepada umum. Ide ini diwujudkan oleh organisasi perempuan “Keutamaan Istri” di Bandung yang menerbitkan surat kabar “Putri Hindia” yang terbit 2 kali sebulan pada tahun 1909.
Berturut-turut kemudian majalah Putri Mardika di Jakarta (1914) yang isinya ditujukan untuk kalangan yang lebih beragam karena ditulis dalam bahasa Melayu, Belanda dan Jawa. Majalah Putri Mardika berhaluan maju karena topik bahasan yang aktual dan mengupas masalah yang beragam, seperti masalah permaduan, pendidikan untuk perempuan yang sejajar dengan pria, kesempatan pendidikan dan pengajaran, dan emansipasi yang lebih banyak untuk perempuan, dll topik bahasan di luar masalah kerumahtanggaan, sehingga pendapat Departemen Pendidikan Hindia Belanda yang menyatakan bahwa pers perempuan hanya memuat masalah domestik tidak berdasarkan fakta (Suryocondro, 1984:87).
Pers perempuan  yang memiliki konsumen khusus juga diterbit-kan, misalnya “Wanita Swara” yang terbit di Pacitan yang mengguna-kan bahasa Jawa sebelum akhirnya memakai bahasa Melayu, demikian juga dengan “Penuntun Istri” (Bandung, 1918) yang menggunakan bahasa Sunda. Pers juga dimiliki oleh sekolah perempuan seperti Surat “Kabar Sunting Melayu” yang merupakan surat kabar penunjang sekolah perempuan “Kerajinan Amai Setia”. Surat kabar yang terbit 3 kali dalam seminggu pimpinan Rohana Kudus ini menjadi pusat kegiatan para perempuan untuk menyalurkan  dan memuat ide, fakta dan opini yang berhubungan dengan politik dalam bentuk prosa dan puisi. Terakhir tercatat pada tahun 1923, tiga majalah terbitan organisasi perempuan, yaitu PIKAT di Manado, Suara Aisyiah di Yogyakarta, dan Istri Mardika (berbahasa Sunda) di Bandung (Kowani, 1978:19).
Kesimpulan
Organisasi-organisasi perempuan yang tumbuh pada awal abad ke-20 tidak muncul secara tiba-tiba, tetapi erat hubungannya dengan pergerakan kebangsaan Indonesia yang merupakan hasil dari pen-didikan yang dikenalkan kepada pribumi Indonesia. Ternyata dengan pendidikan dapat membuka keterasingan dan membuka fikiran serta dapat menerima pemikiran-pemikiran maupun ilmu pengetahuan baru dari luar.
Diawali dengan berdirinya Budi Utomo, kemudian terjadi pula perubahan di lingkungan perempuan untuk turut serta dalam perjuang-an untuk mencapai kemajuan perempuan dan kemerdekaan bangsa-nya. Tujuan sederhana yang pada awalnya bersifat perseorangan dan dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu pada akhirnya mengarah kepada pembentukan organisasi-organisasi yang saat itu baru menekankan pada “perjuangan” sekitar masalah-masalah ranah domestik. Sepak terjang dan semangat para perempuan perintis ini mendapat saluran pengucapannya melalui pers yang diterbitkan, sehingga usaha mereka untuk menyadarkan masyarakat tentang apa yang dianggap penting bagi perempuan Indonesia dapat menjangkau area yang lebih luas.

Daftar Rujukan
Doran, Christine. 1994. Perempuan dan Nasionalisme Indonesia. Jakarta: Pustaka Argu.
Kartowijono, Suyatin. 1982. Perkembangaan Pergerakan Wanita Indonesia. Jakarta: Yayasan Idayu.
Kowani. 1978. Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia. Jakarta: P.N. Balai Pustaka.
Ohorella, G.A. et. al. 1992. Peranan Wanita Indonesia dalam Masa Pergerakan Nasional. Jakarta: Depdikbud
Soewondo, Nani. 1968. Kedudukan Wanita Indonesia dalam Hukum dan Masyarakat. Jakarta : Tinta Mas, N. V.
Suryocondro, Sukanti. 1984. Potret Pergerakan Wanita di Indonesia. Jakarta: C.V. Rajawali.
Wieringa, Saskia. 1998. Kuntilanak Wangi. Organisasi-Organisasi Perempuan Indonesia Sesudah 1950. Jakarta Kalyanamitra.
Wieringa, Saskia. 1999. Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia. Jakarta: Kalyanamitra.









PEREMPUAN MINANGKABAU PADA MASA
TERAKHIR KEKUASAAN BELANDA
A.    Pengantar
Awal abad 20 , merupakan periode penting bagi masyarakat Minangkabau , terutama bagi kaum perempuan. Pada saat ini terjadi sebuah peristiwa bersejarah bagi kehidupan masyarakat dan perempuan kelak di kemudian hari . Peristiwa itu berkaitan dengan pembaharuan yang sedang terjadi pada sistem pendidikan agama oleh kaum agama di Minangkabau . Bersamaan dengan itu , Belanda menerapkan politik etis yang dikenal dengan politik balas budi. Semenjak itu arus perubahan terjadi dalam pemerintahan Belanda di daerah jajahan. Perubahan yang paling dirasakan pengaruhnya adalah perkembangan dunia pendidikan. Pendidikan untuk pribumi yang selama ini tidak menjadi focus perhatian, mulai dikembangkan . Beberapa sekolah khusus untuk pribumi dibuka, begitu pula dengan sekolah untuk kaum perempuan . Kedua momen itu menjadi penting, bagi kaum perempuan dalam melakukan pembaharuan terhadap sistem nilai yang selama ini membatasi mereka. Nilai-nalai yang melarang perempuan bersekolah, karena tugas mereka dianggap hanyaakan mengurus rumah tangga saja, mulai ditentang . Rohana Kudus, Rasuna Said dan beberapa tokoh wanita lainnya, membuktikan hal itu, bahwa mereka mampu melaksanakan peran yang selama ini di dominasi oleh laki-laki. Dorongan perubahan yang terjadi ditengah masyarakat tersebut, terutama dikalangan perempuan semakin besar pada masa-masaterakhir kekuasaan Belanda di Sumatra Barat.
B.     Perempuan Minangkabau Pada Saat Kepulangan Tiga Orang Haji.
Pada akhir abad ke 19, di Minangkabau sedang berlangsung beberapa perubahan yang sangat mendasar dalam kehidupan masyarakatnya. Perubahan-perubahan tersebut dipengaruhi oleh semangat kemajuan yang datang dari duniaArab dan dunia Barat, sehingga menumbuhkan kesadaran baru pada masyarakat Minangkabau, termasuk dikalangan kaum perempuan.Semangat perubahan dikalangan kaum perempuan Minangkabau dimulai, pertama semenjak terjadinya pembaharuan Islam gelombang pertama yang di bawa oleh tiga orang Haji yang pulang dari Mekah pada tahun 1803 Masehi, yaitu Haji Sumanik, Haji Piobang dan Haji Miskin. Mereka mencoba menerapkan ajaran-ajaran Islam sesuai ajaran dalam Al Quran dan Hadis. Salah satu diantara ajaran tersebut menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama dalam menuntut ilmu, hal itu sesuai dengan sebuah ungkapan yang menyuruh untuk menuntut ilmu mulai dari pangkuan ibu sampai keliang kubur. Kemudian melarang berjudi, minum tuak yang dicampur dengan darah kerbau, perang batu antar suku dan kampung serta sabung ayam yang menjadi hobi kebanyakan kaum adat. Selanjutnya awal abad ke-20, tepatnya tahun 1906 Haji Syekh Abdul Karim Amrullah (Inyiak Rasul), bersama temannya Syekh Ibrahim Musa, pulang dari Mekah dan menerapkan pelajaran yang telah diperolehnya secara keras dan tanpa kompromi, sama dengan tiga orang haji yang pulang pertama kali di Minangkabau. Mereka sangat menentang ajaranajaran bersifat mistik dan kelompok-kelompok tarekat. Selain itu mereka juga sangat menentang kebiasaan masyarakat yang banyak dipengaruhi agama Hindu seperti kepercayaan pada tempat-tempat keramat dan sakti. Apa yang dilakukan kedua orang haji ini mendapat tantangan dari kaum adat, sehingga terjadi dua kubu yang saling membenarkan pendapatnya masing-masing. Pertentangan dua kubu ini akhirnya diselesaikan melalui campur tangan Belanda dengan memfasilitasi pertemuan dua kubu tersebut. Dari pertemuan itu akhirnya muncul kesepakatan, bahwa untuk mengurus urusan agama akan dilakukan oleh para ulama, sedangkan masalah adat akan dilakukan oleh kaum adat. Mengingat sulitnya melakukan dakwah ditengah masyarakat, dengan keyakinan terhadap nilai-nilai yang selama ini sudah mereka miliki secara turun temurun, maka kedua orang haji itu merubah pola dakwahnya dengan mendirikan surau sebagai sarana tempat pengajaran agama bagi generasi muda dan masyarakat pada umumnya. Syekh H. Abdul Karim Amrullah ( Inyiak Rasul ) kemudian mengajar di surau Jembatan Besi Padang Panjang, sementara Syehk H. Ibrahim Musa mengajar di surau Parabek Bukittinggi.
Selain kedua orang ini ada Syekh H. Muhammad Djamil Djambek yang mengajar di surau Tangah Sawah Bukittinggi, serta banyak ulama lainnya menyusul merobah pola pengajaran agama pada masyarakat. Mereka inilah kemudian yang termasuk sebagai tokoh pembaharu Islam di Minangkabau. Pembaharuan dalam Islam jangan diartikan dalam Al-Quran dan Hadist, tetapi dengan mengadakan pembaharuan dalam ijtihad ulama zaman lampau. Setelah adanya perobahan pola mengajar dalam ilmu agama oleh para ulama tersebut, pada tahun 1909 menyusul lahir sekolah-sekolah partikulir yang bercorak keagamaan, yaitu madrasah-madrasah dengan sistem kelas, yang memakai bangku, meja dan papan tulis. Salah satu sekolah tersebut adalah Adabiah di Padang yang didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad. Pada tahun 1915 Madrasah Adabiah berubah menjadi Holands Inlandse School ( HIS ), dengan memasukan pelajaran umum dalam kurikulumnya. Syekh H. Abdul Karim Amrullah, Syekh H. Muhammad Djamil Djambek dan Syekh Abdullah Ahmad, selanjutnya ikut andil mendirikan dan membina  pelajar surau Jembatan Besi yang dikelola oleh para Haji tersebut. Pada tahun 1918 Zainuddin Labai Al-Yunusiahbersama dengan Jalaluddin Thaib dan Inyiak Mandua Basa, mengusulkan perubahan nama koperasi pelajar tersebutmenjadi Soematra Thawalib, serta memperluas ruang lingkup kegiatannya.Soematra Thawalib ini semakin berkembang, setelah Syekh Ibrahim Musa Parabek pada tahun 1921 memasukan sistemmadrasah dalam lembaga pendidikan itu. Semenjak itu Soematra Thawalib ini semakin maju dan berkembang secara pesat, bahkan beberapa daerah seperti Padang Japang, Maninjau dan Batusangkar juga merubah sistem pendidikan suraunya menjadi Soematra Thawalib.Lembaga pendidikan ini nantinya banyak melahirkan berbagai tokoh intelektual dan tokoh politik di Minangkabau,diantaranya adalah Hamka dan Zainal Abidin Ahmad, termasuk Zainuddin Labai Al-Yunusiah, pendiri Perguruan DiniyahPadang Panjang.Sementara itu, tiga orang haji yang punya andil dalam mendirikan dan membangun Soematra Thawalib, kemudianmenarik diri dan memusatkan perhatiannya untuk mengurus sekolah masing-masing yang sebelumnya mereka dirikan.
C.    Perempuan Minangkabau Diakhir Kekuasaan Belanda
Perubahan-perubahan dalam sistem pendidikan agama yang dilakukan oleh para ulama tersebut, semakin berkembangdengan cepat, karena dukungan dari kalangan ulama muda cukup besar, walaupun bertentangan dengan kaum ulama dari golongan tua (yang dikenal dengan kaum tua). Pertentangan itu kemudian dikenal dengan pertentangan kaum muda yang pro-pembaharuan dengan kaum tua yang tetap ingin mempertahankan ajaran pola lama. Terlepas dari semua itu, adanya pembaharuan yang dilakukan oleh kaum muda tersebut, membuka kesempatan bagi kaum perempuan untuk memperoleh peluang yang sama dengan kaum laki-laki.
Bagi kaum muda ada beberapa nilai yang selama ini dianggap tabu dalam masyarakat seperti, berpakaian celana pentolan, pakai dasi, berfoto, bersekolah bagi kaum perempuan dan lain sebagainya, justru bagi mereka hal itu tidak jadi persoalan. Adanya pemikiran yang sangat longgar itu, membuka kesempatan bagi kaum perempuan Minangkabau untuk memperoleh pendidikan sama dengan kaum laki-laki.Kesempatan bagi kaum perempuan semakin terbuka luas, setelah Rahmah El-Yunusiyyah pada tanggal 1 November 1923 mendirikan sekolah khusus untuk putri-putri dengan nama al-Madrasah al-Diniyah (sekolah agama). Sekolah ini kemudian dikenal oleh masyarakat Minangkabau, sebagai Perguruan Diniyah Putri Padang Panjang. Perguruan ini didirikan dengan tujuan guna mengangkat derajat kaum perempuan yang selama ini selalu berada dibawah bayangbayang laki-laki (subordinasi), serta membentuk kaum perempuan berjiwa Islam dan ibu pendidik yang cakap, aktif dan bertanggungjawab tentang kesejahteraan keluarga, masyarakat dan tanah air atas dasar pengabdian kepada Allah S.W.T.             Pertama kali perguruan Diniyah Putri ini dibuka, jumlah muridnya sebanyak 71 orang, terdiri dari para ibu-ibu rumah tangga yang masih sangat muda. Pada tahun 1925 sekolah ini mulai menujukan perkembangannya. Ditahun-tahun pertama berdiri, tempat belajarnya menumpang diteras mesjid. Selain melalui sekolah ini, Rahmah juga aktif langsung kelapangan guna melaksanakan pemberantasan buta huruf dikalangan ibu-ibu yang sudah tua. Dalam suasana seperti itu, pada tahun 1925 Muhammadiyah mendirikan cabangnya di Sungai Batang Tanjung Sani.Pendirinya adalah Ja’far Amrullah dan Marah Intan, yang sebelumnya sempat ke Yogyakarta mengunjungi saudaranya. Disanalah Ia banyak mengetahui dan mempelajari tentang gerakan Muhammadiyah, sehingga sesampai dikampungnya, ia mendirikan Muhammadiyah dengan merubah organisasi “Sendi Aman” yang sebelumnya sudah didirikan.
Setelah Muhammadiyah berdiri di Sungai Batang Tanjung Sani, Maninjau, kemudian berdiri pula cabang PadangPanjang. Pendiriannya ini tidak bisa lepas dari peran dari putra Sungai Batang yang bersekolah di Soematra Thawalib Padang Panjang. Sebelum cabang Muhammadiyah didirikan, para siswa tersebut mendirikan Tabligh Muhammadiyah bertempat di rumah Syekh H. Abdul Karim Amrullah. Semenjak Muhammadiyah ikut meramaikan suasana pembaharuan yang sedang terjadi di Minangkabau, maka dorongan perubahan terhadap nilai-nilai yang selalu membatasi ruang gerak perempuan, tidak dapat lagi dibendung. Apalagi setelah Muhammadiyah pada tahun 1937 juga mendirikan sekolah khusus perempuan yang dikelola oleh Aisyiah yang diberinama Kweeksschool Istri di Bukittinggi , maka mata kaum perempuan semakin terbuka lebar untuk menggapai perubahan agar bisa sejajar dengan kaum laki-laki. Gerakan pembaharuan yang dilakukan oleh para ulama dari kaum muda itu sejalan dengan modernisasi yang diperkenalkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda, isu emansipasi yang menghendaki dibukanya pintu bagi kaum perempuan memasuki alam kemajuan yang telah berkembang menjadi satu wacana penting di kalangan masyarakat. Terutama sejak penerapan politik etis yang dilaksanakan pemerintahan Kolonial Belanda, membawa perubahan besar terhadap banyak kebijakan di daerah jajahannya. Pengaruhnya yang paling besar berdampak pada kebijakan pendidikan di Indonesia, diantaranya membuka kesempatan bagi kaum perempuan untuk memperoleh pendidikan melalui sekolah khusus bagi kaum perempuan, yang diatur melalui peraturan Negara No. 51, tahun 1876, isinya, membolehkan suatu daerah memiliki cukup murid perempuan dapat mendirikan sekolah khusus kaum perempuan. Hal itu membuka peluang bagi kaum perempuan untuk memperoleh pendidikan sejajar dengan kaum lelaki. Semenjak itu kesempatan bagi kaum perempuan untuk bersekolah mulai terbuka luas, walaupun saat itu kondisi social budaya Minangkabau belum mendukung sepenuhnya bagi kaum perempuan untuk bersekolah sama dengan lelaki. Namun demikian sejak tahun 1900 hingga menjelang masuknya Jepang di Minangkabau , kaum perempuan sudah mulai berani tampil menentang pembatasan bagi ruang gerak mereka, terutama untuk memperoleh pendidikan sama dengan kaum laki-laki . Dalam kondisi seperti itu, di Bukittinggi muncul seorang tokoh perempuan bernama Rohana Kudus. Ia dengan keberaniannya mendobrak tradisi, yang telah membelenggu kebebasan kaum perempuan. Dia mendirikan sekolah khusus kaum perempuan, bahkan sebagai wadahnya dia mendirikan organisasi yang dikenal dengan nama "Amai Setia” Pengalaman Rohana Kudus yang ditulis oleh Tamar Djaya menjelaskan bahwa, perempuan Minangkabau dilarang bersekolah, pada saat itu ada anggapan bahwa perempuan nantinya akan ke dapur juga.
Oleh sebab itu, selama ini Ia hanya mendapatkan pendidikan melalui orang tuanya yang menjabat sebagai jaksa, disamping itu dia belajar secara otodidak. Apa yang telah dilakukan oleh Rohana Kudus tersebut, menimbulkan reaksi yang cukup keras dari kaum laki-laki Minangkabau. Mereka menganggap pelajaran yang diberikan oleh Rohana Kudus di sekolahnya adalah menghasut kaum perempuan untuk melawan laki-laki, tetapi bagi Rohana Kudus dan kawan¬-kawannya, apa yang dilakukan adalah merupakan suatu usaha memperjuangkan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Pada saat Rohana Kudus mencoba membuka mata kaum perempuan, kondisi masyarakat Minangkabau waktu itu masih begitu keras berpegang pada tradisi yang dianggap sebagai aturan adat bagi kaum perempuan. Tradisi yang menjadi salah satu penyebab kaum perempuan banyak tertinggal oleh kaum laki-laki . Di saat itu dapat dikatakan kebebasan kaum perempuan ada di tangan kaum laki-laki, bahkan sampai menentukan suami pun peran mamak sangat besar. Kadang-kadang calon suami yang dicarikan oleh mamak tersebut sudah punya istri, tetapi karena punya pengaruhdalam masyarakat dengan jabatan Datuk, maka hal itu tidak menjadi persoalan, hal tersebut berlangsung sampai pertengahan abad ke-20. Akibatnva banyak terjadi poligami dan perceraian secara sewenang-wenang. Selain itu penerapan aturan yang ketat terhadap kaum perempuan juga mengakibatkan seluruh waktunya hanya dihabiskan untuk mengurus rumah tangga, mengasuh anak dan melayani suami, sehingga muncul ungkapan Wanita sebagai Alas Kaki di Siang hari dan Alas Tidur di waktu Malam tepat diberikan kepada perempuan Minangkabau pada waktu itu. Mereka buta dalam banyak hal, sehingga menjadi orang yang tetap diatur oleh kondisi sosial yang melingkupi kehidupannya. Jadi dalam adat Minangkabau, konsekuensi dari posisi perempuan sebagai penerus generasi ( reproduksi ) dan penerima waris pusaka, harus bertanggungjawab untuk mengelola harta warisan, disamping punya kewajiban mengurus pekerjaan rumah tangga. Sementara kaum laki-laki yang berperan sebagai Mamak atau Datuk bertugas mengatur harta warisan setelah berproduksi dan mengatur pembagian harta warisan kepada kaumnya. Pemberian tempat terhormat bagi perempuan di Minangkabau sering kali hanya dimanfaatkan sebagai pemanis untuk menenangkan perempuan, atau sebagai pembungkus nilai-nilai patriarki yang sebenarnya lebih mewarnai hubungan laki-laki dan perempuan dimasyarakat.Berbeda dengan ajaran agama Islam, batasan bagi perempuan dan laki-laki adalah sebatas tidak merusak akhlak dan akidah. Selebihnya bagi kaum perempuan mempunyai hak yang sama, terutama dalam hal untuk menuntut ilmu pengetahuan, bahkan perempuan boleh melakukan berbagai aktivitas di luar rumah selama tidak merusak akhlak dan akidah.
 Hal itu diperkuat oleh pendapat ahli fikih, asalkan saja perempuan bekerja dapat memenuhi syarat seperti berikut: (i) persetujuan suami, bagi perempuan yang sudah bersuami (ii) menyeimbangkan tuntutan rumah tangga dan tuntutan kerja. (iii) pekerjaan itu tidak menimbulkan khalwat (iv) menghindari pekerjaan yang tidak sesuai dengan karakter psikologis perempuan, dan (v) menjauhi segala sumber fitnah. Faktor-faktor tersebut di atas yang mendorong adanya reaksi kaum perempuan di Minangkabau untuk mendobrak tradisi yang mengekang kebebasan untuk bisa sejajar dengan kaum laki-laki.
Selain Rohana Kudus, ada Rasuna Said yang tampil ke depan sebagai sosok perempuan yang tidak mau terikat dengan aturan adat yang menghambat kebebasannya. Bahkan Rasuna Said tampil sebagai anggota Permi yang paling vocal dan berpengaruh. Sebagai mantan murid dan guru pada perguruan Sumatera Thawalib dan Diniyyah, dia tampil menjadi salah seorang tokoh Nasional paling keras di Sumatera Barat. Selama aktivitasnya, dia pernah ditangkap bersama teman seperjuangannya yaitu Rasima Ismail pada tahun 1932. Rasuna dijatuhi hukuman selama 15 bulan sedangkan Rasima Ismail menerima hukuman selama sembilan bulan. Rasima Ismail di tangkap oleh Belanda, karena pidatonya dalam sebuah rapat pada bulan Oktober 1932 dinilai sangat provokatif. Kedua tokoh perempuan ini dikurung di penjara Bulu Semarang.
Selain itu Kemajuan Kaum Perempuan etnis Minangkabau bahwa selain di Bukittinggi, Padang Panjang, Padang dan Kota-kota lainnya di Sumatera Barat, di Pariaman juga telah ada sekolah kepandaian putri, yang didirikan oleh isteri Pandoeka Tuan Controleur Dahler. Sekolah tersebut diajarkan membikin renda Palembang dan membuat bermacam-macam bunga dari kertas, sehingga banyaklah anak-anak perempuan yang menjadi pandai dalam membuat renda dan bunga. Kepandaian tersebut diharapkan dapat berkembang di seluruh wilayah Minangkabau, seperti Padang Panjang dan daerah lain. Gerakan perubahan dalam kalangan kaum perempuan Minangkabau, mendorong banyak kaum perempuan tampil ke depan untuk memperjuangkan nasib kaumnya. Selain Rohana Kudus, dan Rasuna Said ada Ratna Sari yang juga gigih melakukan perjuangan persamaan hak dengan kaum laki-laki. Selanjutnya para intelektual perempuan tersebut dikemudian hari punya peran merubah pola pandang pada kaum perempuan yang semula hanya berperan sebagai ibu rumah tangga, isteri dan orang tua. Para intelektual perempuan Minangkabau seperti Rohana Kudus, Rahmah El-Yunisiyah, Rasuna Said dan lain-lainnya dapat dikatakan sebagai tokoh intelektual perempuan gerakan dalam konteks gerakan kaum perempuan menuntut hak-hak mereka untuk bisa terlibat dalam dunia yang diakui hanya milik laki-laki.
 Apa yang sudah dilakukan oleh tokoh intelektual perempuan itu juga menjadi contoh yang memotivasi kaum perempuan untuk terlepas dari kungkungan yang menghambat kemajuan dan kesempatan yang sama dengan kaum laki-laki, hal tersebut juga menjadi salah satu pendorong bagi kaum perempuan untuk terjun dalam dunia pekerjaan di luar rumah. Hal itu sekaligus juga membuktikan bahwa perempuan juga memenuhi persyaratan-persyaratan fungsional sama dengan kaum laki-laki. Sesuai dengan pendapat Robert Van Niel, dalam bukunya yang diterjemahkan oleh Zahara Deliar menyatakan bahwa pada awal abad XX bangsa Indonesia telah mendapat pendidikan yang telah banyak menjadikan elit fungsional. Pada saat kesempatan kaum perempuan mulai terbuka luas untuk mengapai kemajuan menuju kesamaan hak dengan kaum laki -laki, Jepang mulai menapakkan kakinya di Indonesia seiring dengan kekalahan Sekutu oleh Jepang. Kedatangan Jepang tersebut awalnya disambut oleh masyarakat dengan teriakan banzai serta lambaian merah putih dan Hinomaru. Semuanya tentu dengan harapan, kedatangan Jepang akan membawa kebebasan menuju masa depan yang lebih baik. Sesuai dengan propagandanya mengusir penguasa Barat dari Asia, menganggap Indonesia sebagai saudara muda. Ternyata semuanya hanya sebuah harapan dan mimpi belaka, justru yang diperoleh penderitaan yang lebih buruk, apabila dibandingkan dengan penjajahan Belanda. Artinya semua kesempatan yang ada pada masa Pemerintahan Belanda, hilang pada saat kekuasaan ada di tangan bangsa Jepang.
D.    Kesimpulan
Gelombang perubahan yang terjadi ditengah masyarakat Sumatra Barat, terutama dikalangan kaum perempuan Minangkabau, diawali dengan adanya penegakan syariat Islam secara ketat oleh tiga orang Haji yang baru pulang dari Mekah. Kemudian disusul adanya perubahan sistem politik di Dunia Barat, yaitu berkembangnya politik etis, terutama di Belanda. Perubahan-perubahan tersebut mempengaruhi kebijakan-kebijakan politik Belanda di daerah jajahan, termasuk di Indonesia. Perubahan kebijakan yang sangat dirasakan oleh bangsa Indonesia pada waktu itu adalah, terhadap perkembangan dunia pendidikan yaitu dengan dibukanya kesempatan yang cukup besar bagi masyarakat guna memperoleh pendidikan termasuk bagi kalangan perempuan. Apalagi kalangan ulama Minangkabau yang termasuk dalam kalangan reformis yang dikenal sebagai kaum muda, memanfaatkan kesempatan itu dengan mengadopsi sistem pendidikan Barat. Tentu saja hal itu semakin membuka kesempatan bagi kaum perempuan untuk membebaskan dirinya dari keterikatan nilai adat yang telah mengikat mereka dibalik kekuasaan patriarki. Belum lama kaum perempuan Minangkabau menikmati kebebasan dalam kesempatan yang sama dengan kaum laki - laki, kekuasaan Belanda jatuh, karena kekalahannya menghadapi pasukan tentara Jepang. Berakhirnya kekuasaan Belanda, diikuti dengan berakhirnya kebebasan bagi kaum perempuan, diganti dengan rasa ketakutan menghadapi pasukan tentara Jepang yang bersifat fasis.





DAFTAR PUSTAKA
Boestami, et al. 1902. Kedudukan dan Peranan Wanita Dalam Kebudayaan Suku Bangsa Minangkabau . Padang : eza
Esa, Fitriyanti, 2001 . Roehana Koeddoes Tokoh Pendidik dan Jurnalis Perempuan Sumatera    Barat. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan ( YPJ  )
Tamar Djaya, Rohana Kudus .1980 . Riwayat Hidup dan Perjuangannya. Jakarta: Mutiara,