ORGANISASI PEREMPUAN DAN PERJUANGAN
NASIONAL
AWAL ABAD KE-20
Abstrak: Keikutsertaan Perempuan
dalam memikul beban dan memecahkan masalah yang dihadapi masyarakatnya telah
terbukti dalam sejarah. Sejarah Indonesia kaya akan perjuangan kaum Perempuan. Sejak
awal abad ke-20 kaum perempuan telah bangkit bergerak dan berorganisasi untuk
ikut berjuang memikirkan negaranya dari penin-dasan
Kata kunci: organisasi perempuan, perjuangan, awal
abad ke-20
Organisasi
perempuan yang muncul berdiri sebelum kemerdekaan memiliki beragam tujuan yang
ingin dicapai. Organisasi perempuan yang berkembang sebelum tahun 1928 lebih
menitik beratkan kepada perbaikan kedudukan sosial perempuan dalam perkawinan
dan keluarga, serta meningkatkan kecakapannya sebagai seorang ibu rumah tangga
dengan jalan meningkatkan pendidikan dan pengajaran yang disertai dengan
peningkatan ketrampilan (Kowani, 1978:16). Dengan demikian
organisasi-organisasi perempuan yang berdiri sebelum tahun 1928 masih berkutat
pada masalah domestik yang dihadapi oleh perempuan.
Keadaan
mulai berubah setelah tahun 1928, karena kesempatan belajar yang makin
berkembang, tidak terbatas pada lapisan atas saja, melainkan juga berkembang ke
golongan bawah. Dampak dari hal itu adalah dalam segi kuantitas semakin banyak perempuan
yang men-dapat pendidikan, dan sadar untuk berorganisasi. Efeknya adalah
meningkatnya jumlah organisasi perempuan, demikian juga cara perjuangan dan
ruang lingkup yang semakin luas, tidak hanya mengurusi masalah domestik saja,
tetapi juga ranah publik
Organisasi
Perempuan Perintis
Jauh
sebelum tokoh emansipasi Kartini berjuang, telah muncul usaha untuk memikirkan
pendidikan untuk perempuan. Tetapi usaha awal ini berasal dari lingkung
individu dan dari golongan bangsawan . Misalnya usaha dari keluarga Keraton
Pakualam di Yogyakarta yang mendidik gadis-gadisnya untuk belajar di sekolah
Belanda dengan tujuan agar mereka dapat bekerja di berbagai lapangan
(Suryocondro, 1984:80).
Pendidikan
yang dilakukan oleh golongan bangsawan ini tidak hanya masalah yang
bersangkutan dengan ranah domestik, misalnya tentang pelajaran sopan santun,
dan hal-hal kerumahtanggaan, melain-kan pendidikan sekolah yang lebih luas.
Pendidikan golongan bangsa-wan mendapat perhatian yang utama karena dari
golongan mereka diharapkan akan menjadi contoh untuk rakyat umumnya.
Tokoh
lain adalah usaha Kartini yang berusaha memikirkan nasib perempuan yang
terbelenggu oleh nilai tradisi yang menjadikan perempuan tidak dapat mandiri
dan perlakuan sewenang-wenang. Kartini secara tepat menempatkan permasalahan
penindasan perem-puan sebagai bagian dari permasalahan sistem budaya
masyarakatnya. Dengan cerdas, sosok Kartini mengambil pendidikan sebagai titik
strategis untuk mengeluarkan perempuan dari lingkungan budayanya, karena dengan
pendidikan dapat mengubah sistem nilai yang ada di masyarakatnya, selain
menawarkan bagi perempuan emansipasi dan aktualisasi (Ridjal, 1993:95).
Unsur
pokok dari gagasan Kartini antara lain adalah bahwa tokoh ini melihat
bahwa pendidikan untuk perempuan adalah salah satu syarat penting untuk
memajukan perempuan, karena ibu yang terdidik diharapkan mampu mendidik
keturunannya lebih baik. Bahwa kesempatan mencari nafkah sendiri dan mencari
pekerjaan yang cocok bagi perempuan harus diberikan kepada perempuan dari kalangan
miskin dan atas dan permaduan harus dihapuskan karena merendahkan martabat
perempuan (Wieringa, 1998:6).
Usahanya
yang nyata adalah membuka sekolah yang pertama untuk gadis-gadis pribumi di
pekarangan rumahnya. Beberapa gagas-an dari cita-cita perempuan bangsawan yang
dinamis dan dalam banyak hal berjiwa pemberontak ini, terutama cita-citanya
tentang pendidikan untuk perempuan diikuti oleh tokoh-tokoh perempuan lain,
terutama dari golongan bangsawan. Di Jawa Barat, pada tahun 1904, Dewi Sartika
menjadi Kepala Sekolah perempuan Kautaman Istri, yang dalam waktu singkat
sekolah yang dipimpinnya dapat membuka cabang di berbagai tempat di Jawa Barat,
seperti Tasikmalaya (1913), Sumedang dan Cianjur (1916), Ciamis (1917), Cicurug
(1918), Kuningan (1922), dan Sukabumi serta Batavia.
Di luar
Jawa, sekolah untuk pribumi dibuka pula oleh para zending dan missi selain oleh
individu, dan ternyata jumlah muridnya melebihi jumlah murid yang ada di Jawa.
Pada tahun 1910 di Jawa dan Madura jumlah muridnya hanya 2010 orang, sedang di
luar Jawa dan Madura tahun 1908 sudah mencapai 12.276 orang.
Semakin
banyaknya perempuan yang mendapat pendidikan dan dampak yang menyertai akibat
pendidikan tersebut menimbulkan masalah baru, karena tidak semua masyarakat
dapat menerima perubahan-perubahan yang berlangsung itu. Perasaan tidak senang
bila perempuan dapat mandiri dan mampu mengerjakan sesuatu tanpa bantuan orang
lain, bahwa pendidikan yang diterima tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat
pribumi Hindia Belanda karena menyimpang dari nilai-nilai ketimuran adalah
bentuk-bentuk kekha-watiran yang muncul di masyarakat. Akibatnya adalah sikap
pro dan kontra yang muncul dan diarahkan kepada perempuan pribumi terdidik
(Muharam, 1996:138).
Tampak
positif hasil pendidikan untuk perempuan menunjuk-kan arah yang positif,
misalnya kepekaan mereka yang lebih besar akan masalah yang dihadapi
perempuan pada umumnya dan terutama adalah masalah yang dihadapi bangsa
mereka yang masih terdiskri-minasi oleh bangsa lain (Doran, 1994:1). Kesadaran
yang muncul dari fenomena di sekitar mereka memberi inspirasi kepada para
terdidik bahwa cara kerja secara individual menghasilkan efek yang kurang
memuaskan, dan untuk mendapatkan cita-cita bagi kemajuan perem-puan dan
meninggikan derajat bangsanya mereka menganggap perlu-nya kerjasama yang lebih
luas dan lebih besar dalam bentuk organisasi agar hasilnya lebih tampak.
Ide ini
mendapat momentum yang tepat pada awal abad ke-20, dengan berdirinya Budi Utomo
yang dalam sejarah pergerakan Indonesia dianggap sebagai pelopor kebangkitan
bangsa Budi Utomo yang anggotanya terdiri dari golongan masyarakat priyayi dan
intelek-tual Jawa mempunyai pandangan baru tentang perempuan, karena Budi Utomo
beranggapan bahwa perubahan dan perbaikan adalah menyangkut laki-laki dan
perempuan (Leiriza, et. al, 1989:126). Atas prakarsa Budi Utomo, pada tahun
1912 di Jakarta berdiri organisasi perempuan “Putri Mardika” yang bertujuan
memberi bantuan, bim-bingan dan penerangan kepada perempuan pribumi dalam
pendidikan, aktualisasi diri dan beasiswa.
Masa ini
merupakan era pemupukan kesadaran untuk berorga-nisasi dan usaha-usaha
memajukan perempuan. Prakarsa membentuk organisasi pribumi timbul tidak hanya
dari kalangan perempuan sendiri, tetapi juga dari organisasi massa, organisasi
politik baik yang bersifat agama maupun sekuler serta organisasi pemuda, karena
organisasi perempuan dianggap dapat menyalurkan cita-cita organi-sasi, ideologi
partai bahkan ajaran agama (Muharam, 1996:161). Selain itu organisasi perempuan
tidak menuntut persyaratan yang tinggi bagi anggotanya.
Berturut-turut
setelah itu muncul organisasi perempuan lain, seperti “Pawiyatan Wanito” di
Magelang (1995), PIKAT (Percintaan Ibu kepada Anak Temurun) di Manado (1917), “
Purborini” di Tegal (1917), “Wanito Susilo” di Pemalang (1918), “Wanito Hadi”
di Jepara (1919), Putri Budi Sejati di Surabaya (1919), “Wanito Utomo’
dan”Wanita Mulya” di Yogyakarta (1920), sedang di Bukittinggi adalah
“Serikat Kaum Ibu Sumatera” (1920). Setelah tahun 1912, mulai banyak muncul organisasi
perempuan yang bersifat keagamaan seperti “Sopo Tresno” (1914) yang merupakan
embrio Aisyiah. “Sarikat Siti Fatimah” di Garut sebagai bagian dari Sarikat
Islam, yang tahun 1925 menjadi Sarikat Putri Islam (Ohorella, 1992:7), menyusul
“Aisyiah” (1917) yang merupakan seksi perempuan Muhammadiyah di Yogyakarta.
Demikian juga organisasi-organisasi perempuan yang berlatar belakang agama
Protestan dan Katholik berdiri tahun 1924. Di luar Pulau Jawa, muncul pula
organisasi perempuan serupa seperti di Minangkabau, Maluku, dan Minahasa.
Masing-masing
organisasi perempuan yang muncul memiliki persamaan kepentingan yang
diperjuangkan oleh setiap organisasi, baik organisasi yang agamis maupun non
agama, dan yang lokal yaitu bagaimana seorang perempuan menjadi seorang
Ibu dan istri yang baik, mendapat pendidikan kerumahtanggaan seperti
ketram-pilan mengasuh anak dan menjahit. Jadi masalah yang diperjuangkan masih
berkisar ranah domestik, peran esensial seorang wanita konstruksi budaya
masyarakatnya ( Wieringa, 1999:55). Akan tetapi di samping persamaan, antara
organisasi perempuan pun memiliki perbedaan masalah yang sangat sentral, di
satu pihak antara organisasi perempuan Kristen dan “organisasi perempuan
sekuler” dengan organisasi perempuan Islam di pihak lain, yaitu tentang
poligini. Organisasi yang pertama memandang poligini sebagai penghinaan
terhadap perempuan dan kegiatan ini harus dilawan, sementaara organisasi Islam
hanya menginginkan perbaikan dalam poligini, bukan untuk menghapus ( Wieringa,
1998:10).
Sifat Pergerakan
Organisasi
perempuan Indonesia pada awalnya masih bersifat kultural jika dilihat dari
usaha-usaha mereka untuk memperjuangkan nilai-nilai di bidang pendidikan,
kesusilaan, dan kemanusiaan serta usaha untuk meninggikan kedudukan perempuan
di dalam keluarga dan masyarakat. Juga terdapat unsure nasional dalam arti
cinta kepada kebudayaan sendiri menghadapi penetrasi Barat (Suryocondro,
1984:88).
Organisasi
perempuan dengan selektif menerima budaya asing, misalnya pendidikan Barat,
penghargaan yang lebih tinggi terhadap perempuan, pengorganisasian perkumpulan,
tetapi kepada politik (dalam arti luas) belum dilakukan, kecuali tindakan yang
pernah dilakukan oleh “Puti Mardika” tahun 1915 yang mengajukan mosi kepada
Gubernur Jendral agar perempuan dan laki-laki memiliki posisi yang sama di
dalam hukum.
Data
yang mengungkap kegiatan organisasi perempuan selain rapat dan pertemuan serta
kursus-kursus ketrampilan untuk perempuan tidak terlalu banyak didapat. Akan
tetapi dapat diasumsikan bahwa dari pertemuan rutin itu kemudian terbentuk
suatu konsensus selain memikirkan tentang anggota, mereka akhirnya juga
berfikir untuk bangsa mereka, sehingga perkumpulan yang sifatnya lokal,
akhirnya timbul kesadaran nasional karena terpengaruh oleh suasana luar.
Kulminasi
kejadian terjadi tahun 1928 yang terinspirasi oleh Sumpah Pemuda 28 Oktober
1928. Organisasi perempuan yang diantaranya bergelut di bidang domestik mulai
membentuk suatu persatuan berkesadaran nasional pada tanggal 22 Desember
1928 di Konggres Perempuan Indonesia, dengan tokohnya Nyi Hajar Dewantara, Ny.
Sukanto dan Nn. Suyatin (Soewondo, 1968:132). Peristiwa yang disebut oleh Ki
Hajar Dewantara sebagai tonggak sejarah Pergerakan Perempuan Indonesia
(Kartowijono, 1982:6) itu berhasil mendirikan Perikatan Perkumpulan Perempuan
Indonesia (PPPI) yang anggotanya terdiri dari 20 organisasi perempuan. Setelah
era ini, sikap organisasi perempuan semakin tegas, berani dan terbuka dan
perkembangan kearah politik semakin jelas.
Penyebaran
Gagasan
Munculnya
organisasi perempuan yang banyak tumbuh di awal abad ke-20 tidak dapat
dipisahkan dari nilai gotong royong yang dimiliki oleh budaya Indonesia dan
adanya komunikasi yang berupa pers, sehingga gagasan/ide organisasi perempuan
mudah tersebar luas, selain itu pers dapat digunakan sebagai media praktis
pengajaran dan pendidikan (Kowani, 1978:18).
Komunikasi tidak langsung
melalui pers yang dimiliki oleh organisasi perempuan menjadikan masyarakat awam
maupun anggota-anggota cabang dapat mengetahui dan membaca aktifitas dan
gagasan–gagasan organisasi. Jenis penerbitan yang mereka miliki berupa majalah
dan surat kabar yang terbit secara berkala sebagai sarana yang sudah dianggap
selayaknya dimiliki oleh sebuah organisasi modern yang memiliki aturan tertulis
yang sudah jelas, berupa AD/ART, hak dan kewajiban pengurus dan anggota, dsb.
Organisasi
perempuan menyadari bahwa pers adalah sarana yang baik dan efektif untuk
menyampaikan informasi/gagasan perkumpulan kepada umum. Ide ini diwujudkan oleh
organisasi perempuan “Keutamaan Istri” di Bandung yang menerbitkan surat kabar
“Putri Hindia” yang terbit 2 kali sebulan pada tahun 1909.
Berturut-turut
kemudian majalah Putri Mardika di Jakarta (1914) yang isinya ditujukan untuk
kalangan yang lebih beragam karena ditulis dalam bahasa Melayu, Belanda dan
Jawa. Majalah Putri Mardika berhaluan maju karena topik bahasan yang aktual dan
mengupas masalah yang beragam, seperti masalah permaduan, pendidikan untuk
perempuan yang sejajar dengan pria, kesempatan pendidikan dan pengajaran, dan
emansipasi yang lebih banyak untuk perempuan, dll topik bahasan di luar masalah
kerumahtanggaan, sehingga pendapat Departemen Pendidikan Hindia Belanda yang
menyatakan bahwa pers perempuan hanya memuat masalah domestik tidak berdasarkan
fakta (Suryocondro, 1984:87).
Pers
perempuan yang memiliki konsumen khusus juga diterbit-kan, misalnya
“Wanita Swara” yang terbit di Pacitan yang mengguna-kan bahasa Jawa sebelum
akhirnya memakai bahasa Melayu, demikian juga dengan “Penuntun Istri” (Bandung,
1918) yang menggunakan bahasa Sunda. Pers juga dimiliki oleh sekolah perempuan
seperti Surat “Kabar Sunting Melayu” yang merupakan surat kabar penunjang
sekolah perempuan “Kerajinan Amai Setia”. Surat kabar yang terbit 3 kali dalam
seminggu pimpinan Rohana Kudus ini menjadi pusat kegiatan para perempuan untuk
menyalurkan dan memuat ide, fakta dan opini yang berhubungan dengan
politik dalam bentuk prosa dan puisi. Terakhir tercatat pada tahun 1923, tiga
majalah terbitan organisasi perempuan, yaitu PIKAT di Manado, Suara Aisyiah di
Yogyakarta, dan Istri Mardika (berbahasa Sunda) di Bandung (Kowani, 1978:19).
Kesimpulan
Organisasi-organisasi
perempuan yang tumbuh pada awal abad ke-20 tidak muncul secara tiba-tiba,
tetapi erat hubungannya dengan pergerakan kebangsaan Indonesia yang merupakan
hasil dari pen-didikan yang dikenalkan kepada pribumi Indonesia. Ternyata
dengan pendidikan dapat membuka keterasingan dan membuka fikiran serta dapat
menerima pemikiran-pemikiran maupun ilmu pengetahuan baru dari luar.
Diawali dengan berdirinya
Budi Utomo, kemudian terjadi pula perubahan di lingkungan perempuan untuk turut
serta dalam perjuang-an untuk mencapai kemajuan perempuan dan kemerdekaan
bangsa-nya. Tujuan sederhana yang pada awalnya bersifat perseorangan dan
dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu pada akhirnya mengarah kepada
pembentukan organisasi-organisasi yang saat itu baru menekankan pada
“perjuangan” sekitar masalah-masalah ranah domestik. Sepak terjang dan semangat
para perempuan perintis ini mendapat saluran pengucapannya melalui pers yang
diterbitkan, sehingga usaha mereka untuk menyadarkan masyarakat tentang apa
yang dianggap penting bagi perempuan Indonesia dapat menjangkau area yang lebih
luas.
Daftar Rujukan
Doran, Christine. 1994.
Perempuan dan Nasionalisme Indonesia. Jakarta: Pustaka Argu.
Kartowijono, Suyatin.
1982. Perkembangaan
Pergerakan Wanita Indonesia. Jakarta: Yayasan Idayu.
Kowani. 1978. Sejarah Setengah Abad Pergerakan
Wanita Indonesia. Jakarta: P.N. Balai Pustaka.
Ohorella, G.A. et. al.
1992. Peranan Wanita Indonesia
dalam Masa Pergerakan Nasional. Jakarta: Depdikbud
Soewondo, Nani. 1968. Kedudukan Wanita Indonesia dalam
Hukum dan Masyarakat. Jakarta : Tinta Mas, N. V.
Suryocondro, Sukanti.
1984. Potret Pergerakan Wanita di Indonesia. Jakarta: C.V. Rajawali.
Wieringa, Saskia. 1998. Kuntilanak Wangi.
Organisasi-Organisasi Perempuan Indonesia Sesudah 1950. Jakarta
Kalyanamitra.
Wieringa, Saskia. 1999. Penghancuran Gerakan Perempuan di
Indonesia. Jakarta:
Kalyanamitra.
PEREMPUAN
MINANGKABAU PADA MASA
TERAKHIR
KEKUASAAN BELANDA
A.
Pengantar
Awal abad 20 , merupakan periode penting bagi
masyarakat Minangkabau , terutama bagi kaum perempuan. Pada saat ini terjadi
sebuah peristiwa bersejarah bagi kehidupan masyarakat dan perempuan kelak di
kemudian hari . Peristiwa itu berkaitan dengan pembaharuan yang sedang terjadi
pada sistem pendidikan agama oleh kaum agama di Minangkabau . Bersamaan dengan
itu , Belanda menerapkan politik etis yang dikenal dengan politik balas budi.
Semenjak itu arus perubahan terjadi dalam pemerintahan Belanda di daerah
jajahan. Perubahan yang paling dirasakan pengaruhnya adalah perkembangan dunia
pendidikan. Pendidikan untuk pribumi yang selama ini tidak menjadi focus
perhatian, mulai dikembangkan . Beberapa sekolah khusus untuk pribumi dibuka,
begitu pula dengan sekolah untuk kaum perempuan . Kedua momen itu menjadi
penting, bagi kaum perempuan dalam melakukan pembaharuan terhadap sistem nilai
yang selama ini membatasi mereka. Nilai-nalai yang melarang perempuan
bersekolah, karena tugas mereka dianggap hanyaakan mengurus rumah tangga saja,
mulai ditentang . Rohana Kudus, Rasuna Said dan beberapa tokoh wanita lainnya, membuktikan
hal itu, bahwa mereka mampu melaksanakan peran yang selama ini di dominasi oleh
laki-laki. Dorongan perubahan yang terjadi ditengah masyarakat tersebut,
terutama dikalangan perempuan semakin besar pada masa-masaterakhir kekuasaan
Belanda di Sumatra Barat.
B.
Perempuan
Minangkabau Pada Saat Kepulangan Tiga Orang Haji.
Pada akhir abad ke 19, di Minangkabau sedang berlangsung
beberapa perubahan yang sangat mendasar dalam kehidupan masyarakatnya.
Perubahan-perubahan tersebut dipengaruhi oleh semangat kemajuan yang datang
dari duniaArab dan dunia Barat, sehingga menumbuhkan kesadaran baru pada
masyarakat Minangkabau, termasuk dikalangan kaum perempuan.Semangat perubahan
dikalangan kaum perempuan Minangkabau dimulai, pertama semenjak terjadinya
pembaharuan Islam gelombang pertama yang di bawa oleh tiga orang Haji yang
pulang dari Mekah pada tahun 1803 Masehi, yaitu Haji Sumanik, Haji Piobang dan
Haji Miskin. Mereka mencoba menerapkan ajaran-ajaran Islam sesuai ajaran dalam
Al Quran dan Hadis. Salah satu diantara ajaran tersebut menyatakan bahwa
laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama dalam menuntut ilmu, hal itu sesuai
dengan sebuah ungkapan yang menyuruh untuk menuntut ilmu mulai dari pangkuan ibu
sampai keliang kubur. Kemudian melarang berjudi, minum tuak yang dicampur
dengan darah kerbau, perang batu antar suku dan kampung serta sabung ayam yang
menjadi hobi kebanyakan kaum adat. Selanjutnya awal abad ke-20, tepatnya tahun
1906 Haji Syekh Abdul Karim Amrullah (Inyiak Rasul), bersama temannya Syekh
Ibrahim Musa, pulang dari Mekah dan menerapkan pelajaran yang telah
diperolehnya secara keras dan tanpa kompromi, sama dengan tiga orang haji yang
pulang pertama kali di Minangkabau. Mereka sangat menentang ajaranajaran bersifat
mistik dan kelompok-kelompok tarekat. Selain itu mereka juga sangat menentang
kebiasaan masyarakat yang banyak dipengaruhi agama Hindu seperti kepercayaan
pada tempat-tempat keramat dan sakti. Apa yang dilakukan kedua orang haji ini
mendapat tantangan dari kaum adat, sehingga terjadi dua kubu yang saling membenarkan
pendapatnya masing-masing. Pertentangan dua kubu ini akhirnya diselesaikan
melalui campur tangan Belanda dengan memfasilitasi pertemuan dua kubu tersebut.
Dari pertemuan itu akhirnya muncul kesepakatan, bahwa untuk mengurus urusan
agama akan dilakukan oleh para ulama, sedangkan masalah adat akan dilakukan
oleh kaum adat. Mengingat sulitnya melakukan dakwah ditengah masyarakat, dengan
keyakinan terhadap nilai-nilai yang selama ini sudah mereka miliki secara turun
temurun, maka kedua orang haji itu merubah pola dakwahnya dengan mendirikan surau
sebagai sarana tempat pengajaran agama bagi generasi muda dan masyarakat pada
umumnya. Syekh H. Abdul Karim Amrullah ( Inyiak Rasul ) kemudian mengajar di
surau Jembatan Besi Padang Panjang, sementara Syehk H. Ibrahim Musa mengajar di
surau Parabek Bukittinggi.
Selain kedua orang ini ada Syekh H. Muhammad Djamil
Djambek yang mengajar di surau Tangah Sawah Bukittinggi, serta banyak ulama
lainnya menyusul merobah pola pengajaran agama pada masyarakat. Mereka inilah
kemudian yang termasuk sebagai tokoh pembaharu Islam di Minangkabau. Pembaharuan
dalam Islam jangan diartikan dalam Al-Quran dan Hadist, tetapi dengan
mengadakan pembaharuan dalam ijtihad ulama zaman lampau. Setelah adanya
perobahan pola mengajar dalam ilmu agama oleh para ulama tersebut, pada tahun
1909 menyusul lahir sekolah-sekolah partikulir yang bercorak keagamaan, yaitu
madrasah-madrasah dengan sistem kelas, yang memakai bangku, meja dan papan
tulis. Salah satu sekolah tersebut adalah Adabiah di Padang yang didirikan oleh
Syekh Abdullah Ahmad. Pada tahun 1915 Madrasah Adabiah berubah menjadi Holands
Inlandse School ( HIS ), dengan memasukan pelajaran umum dalam kurikulumnya. Syekh
H. Abdul Karim Amrullah, Syekh H. Muhammad Djamil Djambek dan Syekh Abdullah
Ahmad, selanjutnya ikut andil mendirikan dan membina pelajar surau Jembatan Besi yang dikelola oleh
para Haji tersebut. Pada tahun 1918 Zainuddin Labai Al-Yunusiahbersama dengan
Jalaluddin Thaib dan Inyiak Mandua Basa, mengusulkan perubahan nama koperasi
pelajar tersebutmenjadi Soematra Thawalib, serta memperluas ruang lingkup kegiatannya.Soematra
Thawalib ini semakin berkembang, setelah Syekh Ibrahim Musa Parabek pada tahun
1921 memasukan sistemmadrasah dalam lembaga pendidikan itu. Semenjak itu
Soematra Thawalib ini semakin maju dan berkembang secara pesat, bahkan beberapa
daerah seperti Padang Japang, Maninjau dan Batusangkar juga merubah sistem
pendidikan suraunya menjadi Soematra Thawalib.Lembaga pendidikan ini nantinya
banyak melahirkan berbagai tokoh intelektual dan tokoh politik di
Minangkabau,diantaranya adalah Hamka dan Zainal Abidin Ahmad, termasuk
Zainuddin Labai Al-Yunusiah, pendiri Perguruan DiniyahPadang Panjang.Sementara
itu, tiga orang haji yang punya andil dalam mendirikan dan membangun Soematra
Thawalib, kemudianmenarik diri dan memusatkan perhatiannya untuk mengurus sekolah
masing-masing yang sebelumnya mereka dirikan.
C.
Perempuan
Minangkabau Diakhir Kekuasaan Belanda
Perubahan-perubahan dalam sistem pendidikan agama
yang dilakukan oleh para ulama tersebut, semakin berkembangdengan cepat, karena
dukungan dari kalangan ulama muda cukup besar, walaupun bertentangan dengan
kaum ulama dari golongan tua (yang dikenal dengan kaum tua). Pertentangan itu
kemudian dikenal dengan pertentangan kaum muda yang pro-pembaharuan dengan kaum
tua yang tetap ingin mempertahankan ajaran pola lama. Terlepas dari semua itu, adanya
pembaharuan yang dilakukan oleh kaum muda tersebut, membuka kesempatan bagi
kaum perempuan untuk memperoleh peluang yang sama dengan kaum laki-laki.
Bagi kaum muda ada beberapa nilai yang selama ini
dianggap tabu dalam masyarakat seperti, berpakaian celana pentolan, pakai dasi,
berfoto, bersekolah bagi kaum perempuan dan lain sebagainya, justru bagi mereka
hal itu tidak jadi persoalan. Adanya pemikiran yang sangat longgar itu, membuka
kesempatan bagi kaum perempuan Minangkabau untuk memperoleh pendidikan sama
dengan kaum laki-laki.Kesempatan bagi kaum perempuan semakin terbuka luas,
setelah Rahmah El-Yunusiyyah pada tanggal 1 November 1923 mendirikan sekolah
khusus untuk putri-putri dengan nama al-Madrasah al-Diniyah (sekolah agama).
Sekolah ini kemudian dikenal oleh masyarakat Minangkabau, sebagai Perguruan
Diniyah Putri Padang Panjang. Perguruan ini didirikan dengan tujuan guna
mengangkat derajat kaum perempuan yang selama ini selalu berada dibawah
bayangbayang laki-laki (subordinasi), serta membentuk kaum perempuan berjiwa
Islam dan ibu pendidik yang cakap, aktif dan bertanggungjawab tentang kesejahteraan
keluarga, masyarakat dan tanah air atas dasar pengabdian kepada Allah S.W.T. Pertama kali perguruan Diniyah Putri
ini dibuka, jumlah muridnya sebanyak 71 orang, terdiri dari para ibu-ibu rumah tangga
yang masih sangat muda. Pada tahun 1925 sekolah ini mulai menujukan
perkembangannya. Ditahun-tahun pertama berdiri, tempat belajarnya menumpang
diteras mesjid. Selain melalui sekolah ini, Rahmah juga aktif langsung kelapangan
guna melaksanakan pemberantasan buta huruf dikalangan ibu-ibu yang sudah tua. Dalam
suasana seperti itu, pada tahun 1925 Muhammadiyah mendirikan cabangnya di
Sungai Batang Tanjung Sani.Pendirinya adalah Ja’far Amrullah dan
Marah Intan, yang sebelumnya sempat ke Yogyakarta mengunjungi saudaranya.
Disanalah Ia banyak mengetahui dan mempelajari tentang gerakan Muhammadiyah,
sehingga sesampai dikampungnya, ia mendirikan Muhammadiyah dengan merubah organisasi
“Sendi Aman” yang sebelumnya sudah didirikan.
Setelah Muhammadiyah berdiri di Sungai Batang
Tanjung Sani, Maninjau, kemudian berdiri pula cabang PadangPanjang.
Pendiriannya ini tidak bisa lepas dari peran dari putra Sungai Batang yang
bersekolah di Soematra Thawalib Padang Panjang. Sebelum cabang Muhammadiyah
didirikan, para siswa tersebut mendirikan Tabligh Muhammadiyah bertempat di
rumah Syekh H. Abdul Karim Amrullah. Semenjak Muhammadiyah ikut meramaikan
suasana pembaharuan yang sedang terjadi di Minangkabau, maka dorongan perubahan
terhadap nilai-nilai yang selalu membatasi ruang gerak perempuan, tidak dapat
lagi dibendung. Apalagi setelah Muhammadiyah pada tahun 1937 juga mendirikan
sekolah khusus perempuan yang dikelola oleh Aisyiah yang diberinama
Kweeksschool Istri di Bukittinggi , maka mata kaum perempuan semakin terbuka
lebar untuk menggapai perubahan agar bisa sejajar dengan kaum laki-laki. Gerakan
pembaharuan yang dilakukan oleh para ulama dari kaum muda itu sejalan dengan
modernisasi yang diperkenalkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda, isu emansipasi
yang menghendaki dibukanya pintu bagi kaum perempuan memasuki alam kemajuan
yang telah berkembang menjadi satu wacana penting di kalangan masyarakat. Terutama
sejak penerapan politik etis yang dilaksanakan pemerintahan Kolonial Belanda,
membawa perubahan besar terhadap banyak kebijakan di daerah jajahannya.
Pengaruhnya yang paling besar berdampak pada kebijakan pendidikan di Indonesia,
diantaranya membuka kesempatan bagi kaum perempuan untuk memperoleh pendidikan melalui
sekolah khusus bagi kaum perempuan, yang diatur melalui peraturan Negara No.
51, tahun 1876, isinya, membolehkan suatu daerah memiliki cukup murid perempuan
dapat mendirikan sekolah khusus kaum perempuan. Hal itu membuka peluang bagi
kaum perempuan untuk memperoleh pendidikan sejajar dengan kaum lelaki. Semenjak
itu kesempatan bagi kaum perempuan untuk bersekolah mulai terbuka luas,
walaupun saat itu kondisi social budaya Minangkabau belum mendukung sepenuhnya bagi
kaum perempuan untuk bersekolah sama dengan lelaki. Namun demikian sejak tahun
1900 hingga menjelang masuknya Jepang di Minangkabau , kaum perempuan sudah
mulai berani tampil menentang pembatasan bagi ruang gerak mereka, terutama
untuk memperoleh pendidikan sama dengan kaum laki-laki . Dalam kondisi seperti
itu, di Bukittinggi muncul seorang tokoh perempuan bernama Rohana Kudus. Ia
dengan keberaniannya mendobrak tradisi, yang telah membelenggu kebebasan kaum
perempuan. Dia mendirikan sekolah khusus kaum perempuan, bahkan sebagai
wadahnya dia mendirikan organisasi yang dikenal dengan nama "Amai Setia” Pengalaman
Rohana Kudus yang ditulis oleh Tamar Djaya menjelaskan bahwa, perempuan
Minangkabau dilarang bersekolah, pada saat itu ada anggapan bahwa perempuan
nantinya akan ke dapur juga.
Oleh sebab itu, selama ini Ia hanya mendapatkan
pendidikan melalui orang tuanya yang menjabat sebagai jaksa, disamping itu dia
belajar secara otodidak. Apa yang telah dilakukan oleh Rohana Kudus tersebut,
menimbulkan reaksi yang cukup keras dari kaum laki-laki Minangkabau. Mereka
menganggap pelajaran yang diberikan oleh Rohana Kudus di sekolahnya adalah
menghasut kaum perempuan untuk melawan laki-laki, tetapi bagi Rohana Kudus dan
kawan¬-kawannya, apa yang dilakukan adalah merupakan suatu usaha memperjuangkan
persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Pada saat Rohana Kudus mencoba
membuka mata kaum perempuan, kondisi masyarakat Minangkabau waktu itu masih begitu
keras berpegang pada tradisi yang dianggap sebagai aturan adat bagi kaum
perempuan. Tradisi yang menjadi salah satu penyebab kaum perempuan banyak
tertinggal oleh kaum laki-laki . Di saat itu dapat dikatakan kebebasan kaum
perempuan ada di tangan kaum laki-laki, bahkan sampai menentukan suami pun
peran mamak sangat besar. Kadang-kadang calon suami yang dicarikan oleh mamak
tersebut sudah punya istri, tetapi karena punya pengaruhdalam masyarakat dengan
jabatan Datuk, maka hal itu tidak menjadi persoalan, hal tersebut berlangsung
sampai pertengahan abad ke-20. Akibatnva banyak terjadi poligami dan perceraian
secara sewenang-wenang. Selain itu penerapan aturan yang ketat terhadap kaum
perempuan juga mengakibatkan seluruh waktunya hanya dihabiskan untuk mengurus
rumah tangga, mengasuh anak dan melayani suami, sehingga muncul ungkapan Wanita
sebagai Alas Kaki di Siang hari dan Alas Tidur di waktu Malam tepat diberikan
kepada perempuan Minangkabau pada waktu itu. Mereka buta dalam banyak hal,
sehingga menjadi orang yang tetap diatur oleh kondisi sosial yang melingkupi kehidupannya.
Jadi dalam adat Minangkabau, konsekuensi dari posisi perempuan sebagai penerus
generasi ( reproduksi ) dan penerima waris pusaka, harus bertanggungjawab untuk
mengelola harta warisan, disamping punya kewajiban mengurus pekerjaan rumah
tangga. Sementara kaum laki-laki yang berperan sebagai Mamak atau Datuk
bertugas mengatur harta warisan setelah berproduksi dan mengatur pembagian
harta warisan kepada kaumnya. Pemberian tempat terhormat bagi perempuan di
Minangkabau sering kali hanya dimanfaatkan sebagai pemanis untuk menenangkan
perempuan, atau sebagai pembungkus nilai-nilai patriarki yang sebenarnya lebih
mewarnai hubungan laki-laki dan perempuan dimasyarakat.Berbeda dengan ajaran
agama Islam, batasan bagi perempuan dan laki-laki adalah sebatas tidak merusak
akhlak dan akidah. Selebihnya bagi kaum perempuan mempunyai hak yang sama,
terutama dalam hal untuk menuntut ilmu pengetahuan, bahkan perempuan boleh
melakukan berbagai aktivitas di luar rumah selama tidak merusak akhlak dan akidah.
Hal itu
diperkuat oleh pendapat ahli fikih, asalkan saja perempuan bekerja dapat
memenuhi syarat seperti berikut: (i) persetujuan suami, bagi perempuan yang
sudah bersuami (ii) menyeimbangkan tuntutan rumah tangga dan tuntutan kerja.
(iii) pekerjaan itu tidak menimbulkan khalwat (iv) menghindari pekerjaan yang
tidak sesuai dengan karakter psikologis perempuan, dan (v) menjauhi segala
sumber fitnah. Faktor-faktor tersebut di atas yang mendorong adanya reaksi kaum
perempuan di Minangkabau untuk mendobrak tradisi yang mengekang kebebasan untuk
bisa sejajar dengan kaum laki-laki.
Selain Rohana Kudus, ada Rasuna Said yang tampil ke
depan sebagai sosok perempuan yang tidak mau terikat dengan aturan adat yang
menghambat kebebasannya. Bahkan Rasuna Said tampil sebagai anggota Permi yang
paling vocal dan berpengaruh. Sebagai mantan murid dan guru pada perguruan
Sumatera Thawalib dan Diniyyah, dia tampil menjadi salah seorang tokoh Nasional
paling keras di Sumatera Barat. Selama aktivitasnya, dia pernah ditangkap
bersama teman seperjuangannya yaitu Rasima Ismail pada tahun 1932. Rasuna
dijatuhi hukuman selama 15 bulan sedangkan Rasima Ismail menerima hukuman
selama sembilan bulan. Rasima Ismail di tangkap oleh Belanda, karena pidatonya dalam
sebuah rapat pada bulan Oktober 1932 dinilai sangat provokatif. Kedua tokoh
perempuan ini dikurung di penjara Bulu Semarang.
Selain itu Kemajuan Kaum Perempuan etnis Minangkabau
bahwa selain di Bukittinggi, Padang Panjang, Padang dan Kota-kota lainnya di
Sumatera Barat, di Pariaman juga telah ada sekolah kepandaian putri, yang
didirikan oleh isteri Pandoeka Tuan Controleur Dahler. Sekolah tersebut
diajarkan membikin renda Palembang dan membuat bermacam-macam bunga dari
kertas, sehingga banyaklah anak-anak perempuan yang menjadi pandai dalam
membuat renda dan bunga. Kepandaian tersebut diharapkan dapat berkembang di
seluruh wilayah Minangkabau, seperti Padang Panjang dan daerah lain. Gerakan
perubahan dalam kalangan kaum perempuan Minangkabau, mendorong banyak kaum
perempuan tampil ke depan untuk memperjuangkan nasib kaumnya. Selain Rohana
Kudus, dan Rasuna Said ada Ratna Sari yang juga gigih melakukan perjuangan
persamaan hak dengan kaum laki-laki. Selanjutnya para intelektual perempuan
tersebut dikemudian hari punya peran merubah pola pandang pada kaum perempuan
yang semula hanya berperan sebagai ibu rumah tangga, isteri dan orang tua. Para
intelektual perempuan Minangkabau seperti Rohana Kudus, Rahmah El-Yunisiyah,
Rasuna Said dan lain-lainnya dapat dikatakan sebagai tokoh intelektual perempuan
gerakan dalam konteks gerakan kaum perempuan menuntut hak-hak mereka untuk bisa
terlibat dalam dunia yang diakui hanya milik laki-laki.
Apa yang
sudah dilakukan oleh tokoh intelektual perempuan itu juga menjadi contoh yang
memotivasi kaum perempuan untuk terlepas dari kungkungan yang menghambat
kemajuan dan kesempatan yang sama dengan kaum laki-laki, hal tersebut juga
menjadi salah satu pendorong bagi kaum perempuan untuk terjun dalam dunia
pekerjaan di luar rumah. Hal itu sekaligus juga membuktikan bahwa perempuan
juga memenuhi persyaratan-persyaratan fungsional sama dengan kaum laki-laki.
Sesuai dengan pendapat Robert Van Niel, dalam bukunya yang diterjemahkan oleh
Zahara Deliar menyatakan bahwa pada awal abad XX bangsa Indonesia telah mendapat
pendidikan yang telah banyak menjadikan elit fungsional. Pada saat kesempatan
kaum perempuan mulai terbuka luas untuk mengapai kemajuan menuju kesamaan hak
dengan kaum laki -laki, Jepang mulai menapakkan kakinya di Indonesia seiring
dengan kekalahan Sekutu oleh Jepang. Kedatangan Jepang tersebut awalnya
disambut oleh masyarakat dengan teriakan banzai serta lambaian merah putih dan
Hinomaru. Semuanya tentu dengan harapan, kedatangan Jepang akan membawa
kebebasan menuju masa depan yang lebih baik. Sesuai dengan propagandanya
mengusir penguasa Barat dari Asia, menganggap Indonesia sebagai saudara muda.
Ternyata semuanya hanya sebuah harapan dan mimpi belaka, justru yang diperoleh
penderitaan yang lebih buruk, apabila dibandingkan dengan penjajahan Belanda.
Artinya semua kesempatan yang ada pada masa Pemerintahan Belanda, hilang pada
saat kekuasaan ada di tangan bangsa Jepang.
D.
Kesimpulan
Gelombang
perubahan yang terjadi ditengah masyarakat Sumatra Barat, terutama dikalangan
kaum perempuan Minangkabau, diawali dengan adanya penegakan syariat Islam
secara ketat oleh tiga orang Haji yang baru pulang dari Mekah. Kemudian disusul
adanya perubahan sistem politik di Dunia Barat, yaitu berkembangnya politik
etis, terutama di Belanda. Perubahan-perubahan tersebut mempengaruhi
kebijakan-kebijakan politik Belanda di daerah jajahan, termasuk di Indonesia. Perubahan
kebijakan yang sangat dirasakan oleh bangsa Indonesia pada waktu itu adalah,
terhadap perkembangan dunia pendidikan yaitu dengan dibukanya kesempatan yang
cukup besar bagi masyarakat guna memperoleh pendidikan termasuk bagi kalangan
perempuan. Apalagi kalangan ulama Minangkabau yang termasuk dalam kalangan
reformis yang dikenal sebagai kaum muda, memanfaatkan kesempatan itu dengan
mengadopsi sistem pendidikan Barat. Tentu saja hal itu semakin membuka kesempatan
bagi kaum perempuan untuk membebaskan dirinya dari keterikatan nilai adat yang
telah mengikat mereka dibalik kekuasaan patriarki. Belum lama kaum perempuan
Minangkabau menikmati kebebasan dalam kesempatan yang sama dengan kaum laki - laki,
kekuasaan Belanda jatuh, karena kekalahannya menghadapi pasukan tentara Jepang.
Berakhirnya kekuasaan Belanda, diikuti dengan berakhirnya kebebasan bagi kaum
perempuan, diganti dengan rasa ketakutan menghadapi pasukan tentara Jepang yang
bersifat fasis.
DAFTAR
PUSTAKA
Boestami,
et al. 1902. Kedudukan dan Peranan Wanita
Dalam Kebudayaan Suku Bangsa Minangkabau . Padang : eza
Esa,
Fitriyanti, 2001 . Roehana Koeddoes Tokoh
Pendidik dan Jurnalis Perempuan Sumatera Barat. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan
( YPJ )
Tamar
Djaya, Rohana Kudus .1980 . Riwayat Hidup dan Perjuangannya. Jakarta:
Mutiara,